Mau Buat Perjanjian Pisah Harta Setelah Lama Menikah, Bisakah..??

Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor: 69/PUU-XIII/2015 telah memberikan pemaknaan baru terhadap Pasal 29 ayat (1), ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan), yakni: 
  • Terhadap Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan, menjadi atau harus dimaknai "Pada waktu atau sebelum atau selama dalam ikatan perkawinan, kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis baik dibuat dalam bentuk di bawah tangan atau otentik untuk disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga tersangkut." Artinya, perjanjian perkawinan (tertulis) dapat dibuat atau diajukan kapan saja. Bukan hanya dapat dibuat atau diajukan pada saat atau sebelum perkawinan dilangsungkan, tapi juga dapat dibuat atau diajukan selama perkawinan berlangsung. 
  • Terhadap Pasal 29 ayat (3) UU Perkawinan, menjadi atau harus dimaknai, “Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan berlangsung, kecuali ditentukan lain dalam Perjanjian Perkawinan.” Artinya, pasangan suami isteri dapat menentukan kapan mulai berlakunya perjanjian perkawinan tersebut. Jika tidak ditentukan, maka perjanjian perkawinan tersebut, mulai berlaku sejak perkawinan berlangsung.
  • Terhadap Pasal 29 ayat (4) UU Perkawinan, menjadi atau harus dimaknai, “Selama perkawinan berlangsung, perjanjian perkawinan dapat mengenai harta perkawinan atau perjanjian lainnya, tidak dapat diubah atau dicabut, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah atau mencabut, dan perubahan atau pencabutan tidak merugikan pihak ketiga.” Artinya, pasangan suami isteri hanya dapat mengubah atau mencabut perjanjian perkawinan mengenai harta perkawinan atau perjanjian lainnya tersebut atas persetujuan bersama sepanjang tidak merugikan pihak ketiga.

Berdasarkan putusan MK tersebut, maka jelaslah bahwa bagi pasangan suami isteri yang mungkin hingga saat ini dalam masa perkawinannya atau selama perkawinannya berlangsung belum pernah membuat perjanjian perkawinan khususnya mengenai harta perkawinan (pemisahan harta), dapat membuat perjanjian perkawinan dimaksud. Bahkan, perjanjian perkawinan dimaksud, sepanjang tidak merugikan pihak ketiga, di kemudian hari dapat diubah atau dicabut atas persetujuan bersama.

Intinya, pasca putusan MK tersebut, tidak ada halangan bagi pasangan suami isteri untuk membuat perjanjian perkawinan pemisahan harta dalam masa perkawinan atau selama perkawinan berlangsung. Berapa pun usia perkawinannya, baik yang sudah lama maupun yang baru saja menikah. Yang penting, dilandasi atas persetujuan atau kesepakatan bersama dari pasangan suami isteri dan muatan materi (isi) dalam perjanjian perkawinan pemisahan harta tersebut tidak melanggar atau bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku, agama dan kesusilaan. 


Pertanyaannya, bagaimana memilah atau memisahkan harta kekayaan yang telah ada dan bercampur atau menjadi harta kekayaan bersama dalam masa perkawinan atau selama perkawinan berlangsung ke dalam perjanjian perkawinan pemisahan harta tersebut? 

Dalam konteks ini, penulis sependapat dengan Notaris Irma Devita dalam irmadevita.com. Bahwa, “postnuptial agreement hanyalah mengatur harta-harta yang akan diperoleh kemudian sejak postnuptial agreement tersebut dibuat, tidak termasuk harta-harta yang telah diperoleh sebelum postnuptial agreement dibuat”. Dengan kata lain, yang terpisah menjadi harta kekayaan masing-masing pihak hanyalah harta kekayaan yang akan ada atau diperoleh kemudian dalam masa perkawinan atau selama perkawinan berlangsung sejak dibuatnya postnuptial agreement atau perjanjian perkawinan. Sedangkan harta kekayaan yang telah ada atau diperoleh dalam masa perkawinan atau selama perkawinan berlangsung sebelum dibuatnya perjanjian perkawinan, tetap bercampur atau menjadi harta kekayaan bersama.

Begitu juga dengan syarat berlakunya perjanjian perkawinan, menurut Notaris Irma Devita, perlu disebutkan secara tegas, bahwa perjanjian perkawinan ini tidak boleh merugikan pihak ketiga, kurang lebih tercantum dengan klausula “Segala perbuatan hukum yang dilakukan sebelum akta pemisahan harta bersama ini beserta segala akibatnya tetap berlaku dan mengikat bagi kedua belah pihak, seperti sebelum dibuat dan ditanda-tanganinya akta pemisahan harta bersama ini; dan karenanya para penghadap tetap terikat dan tunduk dalam setiap ketentuan yang telah dibuat dengan pihak ketiga sampai perbuatan hukum tersebut secara resmi dinyatakan selesai.” Artinya, jika suami dan/atau isteri telah melakukan perbuatan hukum dengan pihak ketiga dalam masa perkawinan atau selama perkawinan berlangsung sebelum perjanjian perkawinan dibuat, misalnya mempunyai hutang/kredit di bank, tetap menjadi kewajiban atau tanggung jawab bersama suami dan isteri. 

Konsekwensinya, sejak dibuatnya perjanjian perkawinan pemisahan harta, baik suami maupun isteri berkewenangan untuk melakukan perbuatan hukum atas harta kekayaan yang akan ada atau diperoleh kemudian dari pekerjaan atau usahanya masing-masing dalam masa perkawinan atau selama perkawinan berlangsung tanpa perlu lagi meminta ijin atau persetujuan pasangannya, seperti menjual, menyewakan, menggadaikan, menjaminkan, meminjamkan, dll. Begitu juga terhadap hutang kepada perorangan/bank yang akan ada kemudian dalam masa perkawinan atau selama perkawinan berlangsung, maka sejak dibuatnya perjanjian perkawinan pemisahan harta, baik suami maupun isteri bertanggung jawab sendiri-sendiri atas hutangnya masing-masing tersebut. Pendek kata, tidak ada lagi percampuran harta kekayaan dan hutang suami isteri. Ketika terjadi perceraian, maka tidak perlu lagi dilakukan pembagian harta bersama dan penyelesaian tanggungan hutang bersama.


Apa langkah selanjutnya ketika ingin membuat perjanjian perkawinan pemisahan harta tersebut? 

Dikutip dari hukumonline.com, Edna Anindito, Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), memberikan saran bagi pasangan yang hendak membuat perjanjian perkawinan. Sarannya, “Ketika ingin membuat perjanjian perkawinan, terlebih dahulu melakukan listing mengenai harta benda yang dimiliki dan membuat kesepakatan dengan pasangan. Penting juga untuk melakukan konsultasi kepada ahli hukum atau pengacara mengenai pembagian dan kepemilikan harta. Dengan begitu akan mempermudah pembuatan perjanjian perkawinan.” Lebih lanjut, katanya, Kalau bisa sebelum datang ke notaris, pasangan suami istri yang ingin membuat perjanjian perkawinan terlebih dahulu memiliki draf yang sebelumnya dikonsultasikan kepada pengacara dan disepakati. Dibuat juga listing harta yang dimiliki dan pembagiannya. Jangan sampai datang ke notaris tidak memiliki draf dan menyerahkan sepenuhnya kepada notaris.” 

Kenapa? Menurutnya, “Tidak semua notaris memiliki ragam perjanjian perkawinan. Terkadang ada notaris yang hanya memiliki satu tipe perjanjian perkawinan. Dampaknya adalah kepada pasangan yang membuat perjanjian perkawinan tidak sesuai dengan kondisi mereka, sehingga draf yang sudah bagus sangat dibutuhkan ketika ingin membuat perjanjian perkawinan.” Lanjutnya lagi, “Ada yang ingin menyerahkan kepada notaris sepenuhnya tanpa memiliki draf awalan terlebih dahulu. Nanti efeknya baru akan terasa setalah sekian lama. Ketika ada perselisihan dan membaca perjanjian perkawinan yang tidak sesuai dengan kondisinya maka akan bingung.”


Penulis sependapat dengan saran tersebut. Dalam konteks ini, keberadaan dan peran pengacara atau advokat cukup penting dalam membantu pasangan (calon mempelai atau suami isteri) yang hendak membuat perjanjian perkawinan pemisahan harta. Setidaknya, pengacara atau advokat dapat membantu menginventarisir atau menelaah harta kekayaan yang dimiliki dan merumuskan muatan materi yang dapat atau patut dimuat dalam draft perjanjian serta mengkomunikasikan kepentingan pasangan (calon mempelai atau suami isteri) kepada notaris, terkait pemisahan harta tersebut. 

Semoga bermanfaat.


Sumber/pustaka :
  • Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor: 69/PUU-XIII/2015 
  • Postnuptial Agreement dan Mekanisme Pendaftarannya - http://irmadevita.com/2018/postnuptial-agreement-dan-mekanisme-pendaftarannya/
  • Ini yang Bisa Diatur di Perjanjian Perkawinan - https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt583c0af7e75a6/ini-yang-bisa-diatur-di-perjanjian-perkawinan

Gambar : https://pixabay.com/id/daftar-periksa-pilihan-prioritas-2277707/

Ini Persyaratan dan Tata Cara Pencatatan (bukan Pengesahan) Perjanjian Perkawinan

Menindaklanjuti Putusan MK Nomor 69/PUU-XIII/2015, Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia melalui Direktur Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil (Dirjen Dukcapil) dan Kementerian Agama Republik Indonesia melalui Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam (Dirjen Bimas Islam) telah mengeluarkan masing-masing Surat Edaran-nya mengenai Pencatatan Perjanjian Perkawinan. SE dimaksud, adalah sebagai berikut:
  • Surat Edaran Dirjen Dukcapil Nomor: 472.2/5876/DUKCAPIL tertanggal 19 Mei 2017 perihal Pencatatan Pelaporan Perjanjian Perkawinan, yang ditujukan kepada Kepala Dinas Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kabupaten/Kota di seluruh Indonesia.
  • Surat Edaran Dirjen Bimas Islam Nomor : B.2674/DJ.III/KW.00/9/2017 tertanggal 28 September 2017 perihal Pencatatan Perjanjian Perkawinan, yang ditujukan kepada Kepala Kanwil Kementerian Agama Propinsi Se-Indonesia.


Bagi pasangan suami isteri non muslim, persyaratan dan tata caranya mengacu pada Surat Edaran Dirjen Dukcapil. Sedangkan bagi pasangan suami isteri muslim, persyaratan dan tata caranya mengacu pada Surat Edaran Dirjen Bimas Islam. Berikut ini persyaratan dan tata cara pencatatan perjanjian perkawinan.

Bagi pasangan suami isteri non muslim menurut SE Dirjen Dukcapil

Persyaratan :

Pencatatan pelaporan perjanjian perkawinan yang dibuat pada waktu atau sebelum dilangsungkan perkawinan, dilakukan dengan persyaratan:
  1. Foto copy KPT-el;
  2. Foto copy KK;
  3. Akta Notaris Perjanjian Perkawinan yang telah dilegalisir dengan menunjukkan aslinya.

Pencatatan pelaporan perkawinan yang dibuat selama dalam ikatan perkawinan, dilakukan dengan persyaratan:
  1. Foto copy KPT-el;
  2. Foto copy KK;
  3. Akta Notaris Perjanjian Perkawinan yang telah dilegalisir dengan menunjukkan aslinya.
  4. Kutipan akta perkawinan suami dan isteri.

Pencatatan pelaporan perjanjian perkawinan yang dibuat di Indonesia dan pencatatan perkawinannya dilakukan di negara lain, dilakukan dengan persyaratan:
  1. Foto copy KPT-el;
  2. Foto copy KK;
  3. Akta Notaris Perjanjian Perkawinan yang telah dilegalisir dengan menunjukkan aslinya.
  4. Kutipan akta perkawinan atau dengan nama lain yang diterbitkan oleh negara lain;
  5. Surat keterangan pelaporan akta perkawinan yang diterbitkan oleh negara lain.

Pencatatan pelaporan perubahan atau pencabutan perjanjian perkawinan, dilakukan dengan persyaratan:
  1. Foto copy KPT-el;
  2. Foto copy KK;
  3. Foto copy akta Notaris tentang perubahan/pencabutan perjanjian perkawinban yang telah dilegalisir dan menunjukkan aslinya;
  4. Kutipan akta perkawinan suami dan isteri;
  5. Surat keterangan pelaporan akta perkawinan yang diterbitkan oleh negara lain.

Tata Cara :
  1. Pasangan suami dan/atau isteri menyerahkan persyaratan.
  2. Pejabat pencatatan sipil pada UPT Instansi Pelaksana atau Instansi Pelaksana membuat catatan pinggir pada register akta dan kutipan akta perkawinan atau menerbitkan Surat Keterangan bagi perjanjian perkawinan yang dibut di Indonesia dan pencatatan perkawinannya dilakukan di negara lain.
  3. Kutipan akta perkawinan yang dtelah dibuatkan catatan pinggir atau Surat Keterangan diberikan kepada masing-masing suami dan/atau isteri.


Bagi pasangan suami isteri muslim menurut SE Dirjen Bimas Islam

Persyaratan :

Pencatatan pelaporan perjanjian perkawinan yang dibuat sebelum atau saat perkawinan dilangsungkan, dengan persyaratan sebagai berikut: 
  1. Foto copy KPT-el;
  2. Foto copy KK;
  3. Foto copy akta notaris perjanjian perkawinan yang telah dilegalisir.

Pencatatan pelaporan perkawinan yang dibuat selama dalam ikatan perkawinan, dengan persyaratan sebagai berikut:
  1. Foto copy KPT-el;
  2. Foto copy KK;
  3. Foto copy akta notaris perjanjian perkawinan yang telah dilegalisir;
  4. Buku nikah suami dan isteri.

Pencatatan pelaporan perjanjian perkawinan yang dibuat di Indonesia sedangkan perkawinan dicatat di luar negeri atau negara lain, dengan persyaratan sebagai berikut:
  1. Foto copy KPT-el;
  2. Foto copy KK;
  3. Foto copy akta notaris perjanjian perkawinan yang telah dilegalisir;
  4. Buku nikah suami isteri atau akta perkawinan yang diterbitkan oleh negara lain.

Pencatatan perubahan atau pencabutan perjanjian perkawinan, dengan persyaratan sebagai berikut:
  1. Foto copy KPT-el;
  2. Foto copy KK;
  3. Foto copy akta notaris tentang perubahan/pencabutan perjanjian perkawinan yang telah dilegalisir;
  4. Buku nikah suami isteri atau akta perkawinan yang diterbitkan oleh negara lain.

Tata Cara :
  1. Pasangan suami dan/atau isteri menyerahkan persyaratan;
  2. Kepala KUA Kecamatan selaku PPN membuat catatan pada kolom bawah akta nikah dan kolom catatan status perkawinan pada buku nikah dengan menulis kalimat “Perjanjian Perkawinan dengan akta notaris ... nomor ... telah dicatat dalam akta nikah pada tanggal ... ... ...”, atau membuat surat keterangan bagi perkawinan yang dicatat di luar negeri dan perjanjian perkawinannya dibuat di Indonesia;
  3. Catatan pada dokumen perjanjian perkawinan dilakukan pada bagian belakang halaman terakhir dengan kalimat “perjanjian perkawinan ini telah dicatatkan pada akte nikah nomor : .../.../.../... atas nama ... dengan ... tanggal ... kemudian ditandatangani oleh PPN.
  4. Buku nikah suami istri yang telah dibuatkan catatan perjanjian perkawinan atau surat keterangan diserahkan kepada masing-masing suami istri.


Semoga bermanfaat.

Sumber/pustaka :
  • Surat Dirjen Dukcapil Nomor: 472.2/5876/Dukcapil tertanggal 19 Mei 2017 perihal Pencatatan Pelaporan Perjanjian Perkawinan - http://dukcapil.kemendagri.go.id/izCFiles/uploads/downloads/2017-05-23-14-27-20-011.pdf
  • Surat Dirjen Binmas Islam Nomor : B.2674/DJ.III/KW.00/9/2017 tertanggal 28 September 2017 perihal Pencatatan Perjanjian Perkawinan - https://bimasislam.kemenag.go.id/uploads/files/SE-Pencatatan-Perjanjian-Perkawinan.pdf

Gambar : https://pixabay.com/id/seleksi-tangan-tampilkan-pilih-68953/

Kabulkan Permohonan Uji Materiil Mantan Terpidana Korupsi, Mahkamah Agung Pro Koruptor..??

Polemik terkait adanya larangan bagi mantan terpidana korupsi untuk mencalonkan diri sebagai anggota legislatif, berakhir sudah dengan adanya putusan Mahkamah Agung (MA) yang membatalkan larangan tersebut. Larangan yang dibatalkan dalam putusan MA tersebut, adalah larangan menurut Pasal 60 huruf (j) Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 14 tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPD (PKPU 14/2018) dan Pasal 4 ayat (3) Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 20 tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota (PKPU 20/2018). Masing-masing larangan dalam PKPU (PKPU 14/2018 dan PKPU 20/2018) inilah yang dimohonkan uji materiil ke MA, yang akhirnya dikabulkan oleh MA.

Ada 12 permohonan uji materiil yang diajukan kepada MA, tetapi hanya 2 permohonan yang dikabulkan MA. Terhadap 2 permohonan yang dikabulkan tersebut, dalam masing-masing amar putusannya, MA menyatakan :
  • Bahwa “Pasal 60 ayat (1) huruf j Peraturan KPU Nomor 14 Tahun 2018 tentang Pencalonan Perseorangan Peserta Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Daerah sepanjang frasa ”mantan terpidana korupsi” bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan tidak berlaku umum;” (angka 2 amar Putusan MA Nomor : 30 P/HUM/2018 tanggal 13 September 2018 atas permohonan uji materiil yang diajukan oleh LUCIANTY).
  • Bahwa “Pasal 4 ayat (3), Pasal 11 ayat (1) huruf d, dan Lampiran Model B.3 Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2018 tanggal 2 Juli 2018 tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 834) sepanjang frasa “mantan terpidana korupsi” bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, yaitu dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum juncto Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan tidak berlaku umum.” (angka 2 Putusan MA Nomor : 46 P/HUM/2018 tanggal 13 September 2018 atas permohonan uji materiil yang diajukan oleh JUMANTO).

Pasal 60 ayat (1) huruf j PKPU 14/2018 :
"(1) Perseorangan peserta Pemilu, dapat menjadi bakal calon perseorangan Peserta Pemilu Anggota DPD setelah memenuhi persyaratan:
j. bukan Mantan Terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, atau korupsi;"

Pasal 4 ayat (3) dan Pasal 11 ayat (1) huruf d PKPU 20/2018
Pasal 4 ayat (3), “Dalam seleksi bakal calon secara demokratis dan terbuka sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tidak menyertakan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, dan korupsi.”
Pasal 11 ayat (1) huruf d, “Dokumen persyaratan pengajuan bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) berupa:
d. pakta integritas yang ditandatangani oleh Pimpinan Partai Politik sesuai dengan tingkatannya dengan menggunakan formulir Model B.3.”

Dengan adanya masing-masing putusan MA diatas, maka mantan terpidana korupsi menjadi memenuhi syarat untuk menjadi calon anggota DPD maupun DPR/DPRD sebagaimana disyaratkan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Tidak lagi terhalangi dengan syarat dalam Pasal 60 ayat (1) huruf (j) PKPU 14/2018 dan Pasal 4 ayat (3) dan Pasal 11 ayat (1) huruf d PKPU 20/2018.

Pertanyaannya, apakah dengan dikabulkannya permohonan uji materiil tersebut, MA pro koruptor..??

Penulis tidak sependapat jika ada pandangan seperti itu. Putusan MA tersebut tidaklah dapat dianggap sebagai bentuk keberpihakan MA.

Menurut penulis, putusan MA sudah tepat. MA telah memutus secara objektif dengan dasar hukum yang jelas. Dan juga, telah sesuai dengan kewenangannya menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (Undang-Undang) berdasarkan Pasal 24A ayat (1) Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 (UUD 1945), Pasal 31A Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (UU MA) dan Pasal 20 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman), serta Pasal 1 angka 1 Peraturan Mahkamah Agung (PerMA) Nomor 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil (HUM). Hal mana disebutkan dalam pertimbangan hukum MA.

Pasal 24A ayat (1) Perubahan Ketiga UUD 1945 :
“Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat Kasasi, menguji Peraturan Perundang-Undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang dan mempunyai wewenang lainnnya yang diberikan oleh undang-undang."

Pasal 31A Undang-Undang UU MA : lihat DISINI

Pasal 20 ayat (2) huruf b UU Kekuasaan Kehakiman:
“Mahkamah Agung berwenang menguji Peraturan Perundang-Undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang.”

Pasal 1 angka 1 PerMA HUM :
“Mahkamah Agung berwenang mengadili dan menguji pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Peraturan Perundang-Undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang.”

Mencermati pendapat MA dalam pertimbangan hukumnya, pokok persoalan yang harus dijawab MA sesuai kewenangannya, sebenarnya sederhana. Yakni, soal “apakah masing-masing PKPU dimaksud bertentangan dengan Undang-Undang atau tidak?”. Jika bertentangan, maka MA harus membatalkan ketentuan PKPU dimaksud. Sedangkan jika tidak, maka MA harus menolak permohonan uji materiil yang diajukan kepada MA. Khususnya, terhadap UU Pemilu dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU Pembentukan PerUUan), selain terhadap UU HAM.

Faktanya..?? Ternyata dalam masing-masing PKPU tersebut muncul “norma baru” berupa larangan bagi mantan terpidana korupsi menjadi calon anggota DPD maupun DPR/DPRD, sebagaimana diatur dalam Pasal 60 ayat (1) huruf (j) PKPU 14/2018 dan Pasal 4 ayat (3) PKPU 20/2018, terkait frasa ”mantan terpidana korupsi”. Padahal, berdasarkan Pasal 182 huruf g dan Pasal 240 ayat (1) huruf g UU Pemilu, mantan terpidana korupsi tidak dilarang untuk mencalonkan diri sebagai anggota DPD maupun DPR/DPRD. Disinilah pokok persoalan yang harus dijawab MA.

Pasal 182 huruf g dan Pasal 240 ayat (1) huruf g UU Pemilu 

Pasal 182 huruf g :
“Perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 181 dapat menjadi peserta pemilu setelah memenuhi persyaratan:
g. tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana;” 

Pasal 240 ayat (1) huruf g :
“Bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota adalah Warga Negara Indonesia dan harus memenuhi persyaratan:
g. tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana;"

Nampaklah ada ketidaksesuaian antara materi muatan dalam PKPU dengan UU Pemilu sebagai acuan hukumnya yang secara hirarki peraturan perundang-undangan jauh lebih tinggi dari PKPU. Seharusnya, masing-masing PKPU tersebut tetap mengacu pada UU Pemilu. Ketika dalam UU Pemilu tidak melarang mantan terpidana korupsi untuk mencalonkan diri lagi, maka PKPU pun tidak boleh melarang sehingga tidak perlu ada penambahan “norma baru” diluar yang diatur dalam UU Pemilu.  

Menurut MA, meski dilandasi dengan semangat penyelenggaraan Pemilu yang adil dan berintegritas yang terkandung dalam masing-masing PKPU terkait larangan tersebut. Dimana pencalonan anggota legislatif harus berasal dari figur yang bersih dan tidak pernah memiliki rekam jejak cacat integritas. Namun demikian, larangan tersebut seharusnya dimuat dalam Undang-Undang, bukan dalam peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang in casu PKPU 14/2018 dan PKPU 20/2018.

Terhadap ketidaksesuaian tersebut, maka MA pun dalam masing-masing putusannya diatas, membatalkan masing-masing PKPU tersebut. Bukan karena MA pro dengan koruptor, tapi karena masing-masing PKPU tersebut, yakni Pasal 60 huruf (j) PKPU 14/2018 bertentangan dengan Pasal 182 huruf g dan Pasal 4 ayat (3) PKPU 20/2018 bertentangan dengan Pasal 240 ayat (1) huruf g UU Pemilu dan Pasal 5 huruf c UU Pembentukan PerUUan. Jadi, putusan MA tersebut sangatlah beralasan, sesuai dengan kewenangannya dan dengan dasar hukum yang jelas.

Pasal 5 huruf c UU Pembentukan PerUUan :
"Dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, yang meliputi: 
c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;"

Semoga bermanfaat.

Sumber/pustaka :
  • Putusan MA Nomor : 30 P/HUM/2018 
  • Putusan MA Nomor : 46 P/HUM/2018
  • https://www.jpnn.com/news/ma-bantah-pro-koruptor
  • https://www.merdeka.com/peristiwa/izinkan-eks-koruptor-boleh-nyaleg-ma-tegaskan-konsisten-berantas-korupsi.html
  • https://nasional.kompas.com/read/2018/09/14/23015311/ma-seharusnya-larangan-eks-koruptor-diatur-dalam-undang-undang
  • https://tirto.id/ma-kabulkan-uji-materi-pkpu-larangan-eks-koruptor-jadi-caleg-cYZa
  • https://tirto.id/ma-hanya-kabulkan-2-dari-12-gugatan-pkpu-soal-pencalonan-dpr-cZtw
  • http://www.dpr.go.id/dokjdih/document/uu/UU_2009_3.pdf
  • http://www.dpr.go.id/dokjdih/document/uu/UU_2011_12.pdf
Gambar : https://pixabay.com/id/skala-pertanyaan-penting-2635397/

Mencermati Putusan Mahkamah Konstitusi Terhadap Pengecualian “Rahasia Bank” Untuk Kepentingan Peradilan Mengenai Harta Bersama dalam Perkara Perceraian (bagian-2)

Melalui putusannya tersebut, MK telah memberikan pengecualian tambahan terhadap kerahasiaan bank atas data nasabah penyimpan dan simpanannya di bank, selain yang diatur dalam Pasal 40 ayat (1) UU Perbankan. Artinya, dengan adanya putusan MK ini, maka pengecualian kerahasiaan bank atas data nasabah penyimpan dan simpanannya dalam Pasal 40 ayat (1) UU Perbankan menjadi termasuk juga “untuk kepentingan peradilan mengenai harta bersama dalam perkara perceraian”, selain :
  • untuk kepentingan perpajakan (Pasal 41), 
  • untuk penyelesaian piutang bank yang sudah diserahkan kepada Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara/Panitia Urusan Piutang Negara (Pasal 41A), 
  • untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana (Pasal 42), 
  • dalam perkara perdata antar bank dengan nasabahnya (Pasal 43), 
  • untuk kepentingan tukar-menukar informasi antar bank (Pasal 44), dan
  • atas permintaan, persetujuan, atau kuasa dari nasabah penyimpan yang dibuat secara tertulis (Pasal 44A).

Ditambahkannya pengecualian kerahasiaan bank atas data nasabah penyimpan dan simpanannya dalam putusan MK tersebut, dengan pertimbangan hukum (angka 3.14), “Bahwa dari pengecualian tersebut, terdapat norma yang membolehkan data nasabah dibuka atas perintah pengadilan, yaitu untuk perkara pidana dan perkara perdata antarbank dengan nasabahnya. Berdasarkan hal tersebut, menurut Mahkamah, akan lebih memenuhi rasa keadilan apabila data nasabah juga harus dibuka untuk kepentingan peradilan perdata terkait dengan harta bersama, karena harta bersama adalah harta milik bersama suami dan isteri, sehingga suami dan/atau isteri harus mendapat perlindungan atas haknya tersebut dan tidak boleh diambil secara sewenang-wenang oleh salah satu pihak. Hal demikian dijamin oleh Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945”.

Pengecualian tambahan tersebut, telah memberikan dasar atau pijakan hukum yang terbatas bagi suami atau isteri dalam memperoleh akses informasi dari bank atas tabungan, deposito, harta benda dan produk perbankan lainnya yang dimiliki dan/atau disimpan oleh suami dan/atau isteri di bank. Yakni, hanya untuk kepentingan peradilan (pembuktian dalam persidangan di pengadilan) mengenai harta bersama dalam perkara perceraian.

Menurut penulis, frase “mengenai harta bersama dalam perkara perceraian” dalam amar putusan MK mengandung syarat atau keharusan adanya penggabungan perkara. Dalam hal ini, adalah gugatan atau perkara harta bersama yang harus digabungkan atau diajukan sekaligus dalam gugatan atau perkara perceraian. Penggabungan perkara seperti ini dikenal juga dengan istilah penggabungan atau kumulasi objektif. Dimana beberapa gugatan atau tuntutan diajukan dalam satu perkara sekaligus.

Penggabungan atau kumulasi objektif dalam konteks ini, hanya diatur dalam Pasal 66 ayat (5) dan Pasal 86 ayat 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (UU Peradilan Agama). Akibatnya, menurut penulis, terjadilah pembatasan lingkup “peradilan” atau “subjek hukum”. Yakni, hanya dapat diajukan dalam lingkup peradilan agama saja (Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah) atau hanya dapat diajukan oleh suami dan/atau isteri yang beragama Islam atau yang perkawinannya dilakukan menurut agama Islam saja.


Di Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah, gugatan harta bersama dapat diajukan terpisah atau pun sekaligus dalam perkara perceraian. Namun dalam prakteknya, biasanya diajukan terpisah. Dimana permohonan atau gugatan perceraian (cerai talak atau cerai gugat) diajukan dulu, baru setelah ada putusan yang berkekuatan hukum tetap oleh Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah dapat diajukan gugatan atau tuntutan harta bersama. Pengajuan gugatan atau tuntutan harta bersama secara sekaligus dalam perkara perceraian, seringkali berlarut-larut penyelesaiannya, kecuali masing-masing pihak (suami dan isteri) memang telah setuju untuk bercerai yang diikuti pula dengan persetujuan atau kesepakatan pembagian harta bersama.

Ketika gugatan harta bersama diajukan terpisah atau tidak sekaligus dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah, maka bank dapat menolak untuk memberikan akses informasi atas tabungan, deposito, harta benda dan produk perbankan lainnya yang dimiliki dan/atau disimpan suami dan/atau isteri di bank. Karenanya, jika terkait dengan kemungkinan perlunya akses informasi dimaksud dalam persidangan di Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah, mau tidak mau suami atau isteri harus mengajukan gugatan harta bersama sekaligus dalam perkara perceraian. Tidak ada pilihan lain sehingga kemungkinan akan berlarut-larutnya penyelesaian perkara tetaplah harus ditempuh oleh suami atau isteri. Dalam konteks ini, maka suami atau isteri yang hendak mengajukan gugatan harta bersama di Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah, yang didalamnya mencantumkan adanya tabungan, deposito, harta benda dan produk perbankan lainnya yang dimiliki dan/atau disimpan suami dan/atau isteri di bank, akhirnya pun menjadi “terbelenggu” dengan adanya syarat penggabungan atau kumulasi objektif dalam amar putusan MK dengan frase "mengenai harta bersama dalam perceraian".

Menurut penulis, mestinya amar putusan MK cukup dengan frase “mengenai harta bersama dalam perkawinan”. Hal mana selaras dengan pertimbangan hukum MK pada angka 3.15, “...sehingga setiap isteri dan/atau suami termasuk Pemohon memperoleh jaminan dan kepastian hukum atas informasi mengenai harta bersama dalam perkawinan yang disimpan di bank”. Dengan demikian, subjek hukum “setiap isteri dan/atau suami” tetap berada dalam artian yang luas. Yakni, mencakup “setiap isteri dan/atau suami” yang beragama Islam dan selain Islam atau yang perkawinannya dilakukan menurut agama Islam dan selain Islam. Atau, dapat diajukan di Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah dan di Pengadilan Negeri. Tujuan untuk “memperoleh jaminan dan kepastian hukum” yang adil, yakni “atas informasi mengenai harta bersama dalam perkawinan yang disimpan di bank(bukan mengenai harta bersama dalam perceraian) bagi “setiap isteri dan/atau suami” juga dapat tercapai.

Semoga bermanfaat.

Kembali ke bagian-1.

Sumber/pustaka :
  • Putusan Mahkamah Konsitusi NOMOR: 64/PUU-X/2012;
  • UU Peradilan Agama (Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama).
Gambar : https://pixabay.com/id/buku-kaca-pembesar-pembesar-lookup-390277/

Mencermati Putusan Mahkamah Konstitusi Terhadap Pengecualian “Rahasia Bank” Untuk Kepentingan Peradilan Mengenai Harta Bersama dalam Perkara Perceraian (Bagian-1)

Mahkamah Konstitusi (MK), telah mengeluarkan putusannya Nomor: 64/PUU-X/2012 tanggal 23 Februari 2013 atas permohonan pengujian konstitusionalitas atas Pasal 40 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (selanjutnya disebut UU Perbankan) terhadap Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945, yang diajukan oleh Ny. Magda Safrina (Pemohon). Putusan mana telah mengabulkan permohonan Pemohon untuk sebagian, yakni pengujian atas Pasal 40 ayat (1) UU Perbankan terhadap Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945. Sedangkan pengujian atas Pasal 40 ayat (2) UU Perbankan terhadap UUD 1945 yang diajukan oleh pemohon, ditolak oleh MK.




Putusan MK tersebut telah memberikan pemaknaan baru terhadap Pasal 40 ayat (1) UU Perbankan. Artinya, Pasal 40 ayat (1) UU Perbankan harus dimaknai “Bank wajib merahasiakan keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya, kecuali dalam hal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 41, Pasal 41A, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 44, dan Pasal 44A serta untuk kepentingan peradilan mengenai harta bersama dalam perkara perceraian”. Jika tidak, maka “ketentuan Pasal 40 ayat (1) UU Perbankan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat” (pertimbangan hukum MK pada angka 3.15).

Permohonan pengujian konstitusionalitas yang diajukan Pemohon atas Pasal 40 ayat (1) dan ayat (2) UU Perbankan tersebut diatas, bermula dari adanya penolakan bank-bank untuk memberikan informasi atau keterangan mengenai keberadaan tabungan dan deposito yang disimpan oleh dan atas nama suami Pemohon di sejumlah bank di Kota Banda Aceh dan Bank di Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh, kepada Mahkamah Syariah Kota Banda Aceh dalam pemeriksaan gugatan perceraian dan pembagian harta bersama (gono-gini) –selanjutnya disebut harta bersama– yang diajukan Pemohon, dengan alasan kerahasiaan data nasabah. Bank-bank tersebut, oleh Mahkamah Syariah Kota Banda Aceh diminta untuk memberikan penjelasan mengenai keberadaan tabungan dan deposito dimaksud demi kepentingan perlindungan harta bersama yang kedudukannya dilindungi oleh hukum dan Undang-Undang.

Permintaan Mahkamah Syariah Kota Banda Aceh tersebut sehubungan dengan adanya perbedaan dan perselisihan antara Pemohon dengan suami Pemohon tentang keberadaan tabungan dan deposito yang dimaksud. Dalam gugatan harta bersama, Pemohon mencantumkan sejumlah harta bersama dalam bentuk tabungan dan deposito yang disimpan oleh dan atas nama suami Pemohon di sejumlah bank di Kota Banda Aceh dan Bank Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh. Namun, dalam jawaban gugatannya dan dipertegas lagi dalam dupliknya, suami Pemohon melalui kuasa hukumnya, menyangkal dan menolak keberadaan seluruh tabungan dan deposito yang disimpan oleh dan atas nama suami Pemohon pada sejumlah bank di Kota Banda Aceh dan bank di Kabupaten Aceh Besar tersebut.

Permasalahan yang harus dijawab dalam perkara a quo, menurut MK dalam pertimbangan hukumnya pada angka 3.13, adalah "adanya larangan bagi bank untuk memberi keterangan mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 40 ayat (1) UU Perbankan. Khususnya mengenai simpanan yang merupakan harta bersama menurut UU Perkawinan".

Harta bersama menurut UU Perkawinan dimaksud, adalah harta bersama yang diatur menurut Pasal 35 ayat (1), Pasal 36 ayat (1), Pasal 37  Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) dan Pasal 1 huruf f Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Mengacu pada ketentuan-ketentuan tersebut, menurut pertimbangan MK (angka 3.12), “..seluruh harta yang disimpan oleh suami dan/atau isteri di satu bank, baik dalam bentuk tabungan, deposito dan produk perbankan lainnya mempunyai kedudukan sebagai harta bersama (gono-gini) yang dimiliki secara bersama-sama oleh suami dan/atau isteri atau merupakan harta benda milik bersama suami isteri yang dilindungi menurut konstitusi.” Karenanya, “harta bersama (gono-gini) yang diperoleh selama pernikahan, termasuk harta yang disimpan oleh suami dan/atau isteri di satu bank baik dalam bentuk tabungan, deposito dan produk perbankan lainnya merupakan harta benda milik bersama suami isteri yang dilindungi menurut konstitusi;"



Baca lanjutannya (bagian-2), DISINI.

Perjanjian Perkawinan Pasca Putusan MK, Harus Dicatatkan dan Otentik..?? (bagian-2) - Update

Putusan MK adalah putusan yang final dan mengikat. Tidak bisa lagi diajukan upaya hukum apa pun terhadap suatu putusan MK.

Suka atau tidak suka, mau atau tidak mau, haruslah dilaksanakan atau dijalankan sebagaimana mestinya secara utuh dan menyeluruh. Interpretasi dalam implementasinya pun harus tetap sejalan atau selaras dengan isi atau materi yang dimuat dalam putusan MK.

Pengesahan dan pencatatan adalah dua istilah yang sangat berbeda dan bukanlah sebagai padanan kata (sinonim). Pengesahan bukanlah pencatatan, begitu juga sebaliknya. Masing-masing istilah tersebut memiliki pemaknaan dan implikasi hukumnya sendiri-sendiri.


Telah jelas dan tegas, bahwa dalam konteks ini substansi amar putusan MK terhadap Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan, memuat “perintah” pengesahan. Yakni, pengesahan perjanjian perkawinan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris, bukan pencatatan pelaporan perjanjian perkawinan sebagaimana diatur dalam SE Dirjen Dukcapil dan SE Dirjen Bimas Islam. Sebelum adanya putusan MK tersebut, substansi Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan juga memuat “perintah” pengesahan, bukan pencatatan. 

Agar suatu perjanjian perkawinan dapat berlaku terhadap pihak ketiga yang terkait atau yang memiliki kepentingan, maka disyaratkan adanya pengesahan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris, bukan pencatatan. Itulah “perintah” MK dalam putusan MK terhadap Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan. MK dalam putusannya, sama sekali tidak mensyaratkan adanya pencatatan perjanjian perkawinan. Jadi, jangan dirancukan atau dikaburkan substansi dari “perintah” pengesahan dalam putusan MK terhadap Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan tersebut menjadi pencatatan.

Begitu juga bentuk perjanjian perkawinan. Telah jelas dan tegas pula dalam putusan MK terhadap Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan, terdapat alternatif atau pilihan bentuk perjanjian perkawinan yang bisa dibuat oleh para pihak, yakni dalam bentuk di bawah tangan atau otentik. Jadi, bukan hanya dalam bentuk otentik (akta notaris) saja.

Jika memang dikehendaki adanya pencatatan pelaporan perjanjian perkawinan, seharusnya mencakup juga perjanjian perkawinan dalam bentuk otentik (akta notaris) mau pun di bawah tangan, yang telah disahkan oleh pengawai pencatat perkawinan atau notaris, sebagaimana “perintah” yang dimuat dalam putusan MK terhadap Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan. Bukan justru meniadakan salah satunya, dengan hanya memuat mekanisme pencatatan pelaporan perjanjian perkawinan yang dibuat dalam bentuk otentik (akta notaris) saja.

Mekanisme pencatatan pelaporan perjanjian perkawinan seperti itu pun mestinya hanya untuk tertib adminitratif saja atau sebagai tambahan. Bukan sebagai syarat publisitas agar dapat berlaku terhadap pihak ketiga yang terkait atau yang memiliki kepentingan. Kewajiban pencatatan dan pelaporannya kepada instansi pelaksana pada dinas Dukcapil pun tidaklah dibebankan kepada para pihak tapi dilakukan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris setelah mengesahkan perjanjian perkawinan yang diajukan oleh para pihak kepadanya.


Kalau pun timbul polemik dalam pelaksanaannya, khususnya di kalangan notaris dengan batasan kewenangan pengesahan (legalisasi) oleh notaris dalam Pasal 15 ayat (2) huruf a dan huruf d Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (selanjutnya disebut UUJN), tidaklah kemudian dibuat mekanisme yang justru menghilangkan atau meniadakan eksistensi perjanjian perkawinan dalam bentuk di bawah tangan.


Dalam konteks ini, menurut penulis, kewenangan baru yang diberikan kepada notaris dalam putusan MK terhadap Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan tersebut sebenarnya tidak perlu menjadi polemik dengan adanya batasan kewenangan dalam Pasal 15 ayat (2) huruf a dan huruf d UUJN. Kewenangan baru notaris dalam hal pengesahan terhadap perjanjian perkawinan di bawah tangan mestinya dapat langsung dilaksanakan tanpa perlu dibuat aturan pelaksanaan teknisnya.

Ketika notaris diminta mengesahkan sebuah perjanjian perkawinan dalam bentuk di bawah tangan, jalankan saja sesuai dengan batasan kewenangan pengesahan dalam Pasal 15 ayat (2) huruf a dan huruf d UUJN tersebut. Tidak perlu diribetkan dengan persoalan sah tidaknya isi atau materi dalam perjanjian perkawinan di bawah tangan. Bukankah kewenangan pengesahan perjanjian perkawinan yang diberikan kepada notaris dalam putusan MK terhadap Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan juga tidak mensyaratkan hal tersebut. Sedangkan kewenangan pegawai pencatat perkawinan pengesahan terhadap perjanjian perkawinan dalam bentuk di bawah tangan tetap dapat dijalankan seperti sebelumnya. Dengan demikian, baik notaris mau pun pegawai pencatat perkawinan tetap dapat melaksanakan kewenangannya masing-masing dalam hal pengesahan terhadap perjanjian perkawinan dalam bentuk di bawah tangan.

Hal yang sama juga dapat langsung dilaksanakan terhadap perjanjian perkawinan yang dibuat dalam bentuk otentik. Dengan dibuat dan dibacakan serta ditandatanganinya perjanjian perkawinan di depan notaris atau dituangkan dalam akta notaris (notariil), maka terhadap perjanjian perkawinan tersebut, mulai dari kepala akta, isi atau materi, hingga tanda tangan para pihak maupun saksi-saksi, dengan sendirinya (otomatis) menjadi “disahkan” pula oleh notaris yang membuat akta notaris perjanjian perkawinan tersebut. Eksistensi dan kewenangan notaris dalam hal membuat dan mengesahkan perjanjian perkawinan harus dipahami berada dalam “satu kemasan”, yakni membuat dan sekaligus otomatis “mengesahkan” akta notaris perjanjian perkawinan, bukan secara terpisah atau sendiri-sendiri. Karenanya, tidak perlu dilakukan pengesahan tersendiri lagi oleh pegawai pencatat perkawinan (atau notaris lagi).

Hal tersebut bukanlah untuk meniadakan kewenangan pegawai pencatat perkawinan, tapi sebagai implikasi hukum yang logis dari adanya kewenangan pengesahan yang juga diberikan kepada notaris, yang sebelum adanya putusan MK hanya dimiliki oleh pegawai pencatat perkawinan. Implementasi dengan interpretasi seperti ini masih tetap sejalan atau selaras dengan substansi “perintah” dalam putusan MK terhadap Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan.


Jadi, berdasarkan paparan diatas, sebagaimana “perintah” dalam putusan MK terhadap Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan, jelaslah bahwa terhadap perjanjian perkawinan, seharusnya tidaklah dengan mekanisme dicatatkan tapi disahkan (oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris). Juga bukan hanya dalam bentuk yang otentik saja, tapi seharusnya dapat pula dibuat dalam bentuk di bawah tangan atau pun otentik.  

Semoga bermanfaat.

Sumber/pustaka :
Gambar :
  • https://pixabay.com/id/detektif-mencari-pria-pencarian-1424831/

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | GreenGeeks Review