Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor: 69/PUU-XIII/2015 telah memberikan pemaknaan baru terhadap Pasal 29 ayat (1), ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan), yakni:
- Terhadap Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan, menjadi atau harus dimaknai "Pada waktu atau sebelum atau selama dalam ikatan perkawinan, kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis baik dibuat dalam bentuk di bawah tangan atau otentik untuk disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga tersangkut." Artinya, perjanjian perkawinan (tertulis) dapat dibuat atau diajukan kapan saja. Bukan hanya dapat dibuat atau diajukan pada saat atau sebelum perkawinan dilangsungkan, tapi juga dapat dibuat atau diajukan selama perkawinan berlangsung.
- Terhadap Pasal 29 ayat (3) UU Perkawinan, menjadi atau harus dimaknai, “Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan berlangsung, kecuali ditentukan lain dalam Perjanjian Perkawinan.” Artinya, pasangan suami isteri dapat menentukan kapan mulai berlakunya perjanjian perkawinan tersebut. Jika tidak ditentukan, maka perjanjian perkawinan tersebut, mulai berlaku sejak perkawinan berlangsung.
- Terhadap Pasal 29 ayat (4) UU Perkawinan, menjadi atau harus dimaknai, “Selama perkawinan berlangsung, perjanjian perkawinan dapat mengenai harta perkawinan atau perjanjian lainnya, tidak dapat diubah atau dicabut, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah atau mencabut, dan perubahan atau pencabutan tidak merugikan pihak ketiga.” Artinya, pasangan suami isteri hanya dapat mengubah atau mencabut perjanjian perkawinan mengenai harta perkawinan atau perjanjian lainnya tersebut atas persetujuan bersama sepanjang tidak merugikan pihak ketiga.
Berdasarkan putusan MK tersebut, maka jelaslah bahwa bagi pasangan suami isteri yang mungkin hingga saat ini dalam masa perkawinannya atau selama perkawinannya berlangsung belum pernah membuat perjanjian perkawinan khususnya mengenai harta perkawinan (pemisahan harta), dapat membuat perjanjian perkawinan dimaksud. Bahkan, perjanjian perkawinan dimaksud, sepanjang tidak merugikan pihak ketiga, di kemudian hari dapat diubah atau dicabut atas persetujuan bersama.
Intinya, pasca putusan MK tersebut, tidak ada halangan bagi pasangan suami isteri untuk membuat perjanjian perkawinan pemisahan harta dalam masa perkawinan atau selama perkawinan berlangsung. Berapa pun usia perkawinannya, baik yang sudah lama maupun yang baru saja menikah. Yang penting, dilandasi atas persetujuan atau kesepakatan bersama dari pasangan suami isteri dan muatan materi (isi) dalam perjanjian perkawinan pemisahan harta tersebut tidak melanggar atau bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku, agama dan kesusilaan.
Silahkan baca juga, “Putusan Mahkamah Konstitusi Terhadap Perjanjian Perkawinan yang Patut Anda Simak”
Pertanyaannya, bagaimana memilah atau memisahkan harta kekayaan yang telah ada dan bercampur atau menjadi harta kekayaan bersama dalam masa perkawinan atau selama perkawinan berlangsung ke dalam perjanjian perkawinan pemisahan harta tersebut?
Dalam konteks ini, penulis sependapat dengan Notaris Irma Devita dalam irmadevita.com. Bahwa, “postnuptial agreement hanyalah mengatur harta-harta yang akan diperoleh kemudian sejak postnuptial agreement tersebut dibuat, tidak termasuk harta-harta yang telah diperoleh sebelum postnuptial agreement dibuat”. Dengan kata lain, yang terpisah menjadi harta kekayaan masing-masing pihak hanyalah harta kekayaan yang akan ada atau diperoleh kemudian dalam masa perkawinan atau selama perkawinan berlangsung sejak dibuatnya postnuptial agreement atau perjanjian perkawinan. Sedangkan harta kekayaan yang telah ada atau diperoleh dalam masa perkawinan atau selama perkawinan berlangsung sebelum dibuatnya perjanjian perkawinan, tetap bercampur atau menjadi harta kekayaan bersama.
Begitu juga dengan syarat berlakunya perjanjian perkawinan, menurut Notaris Irma Devita, perlu disebutkan secara tegas, bahwa perjanjian perkawinan ini tidak boleh merugikan pihak ketiga, kurang lebih tercantum dengan klausula “Segala perbuatan hukum yang dilakukan sebelum akta pemisahan harta bersama ini beserta segala akibatnya tetap berlaku dan mengikat bagi kedua belah pihak, seperti sebelum dibuat dan ditanda-tanganinya akta pemisahan harta bersama ini; dan karenanya para penghadap tetap terikat dan tunduk dalam setiap ketentuan yang telah dibuat dengan pihak ketiga sampai perbuatan hukum tersebut secara resmi dinyatakan selesai.” Artinya, jika suami dan/atau isteri telah melakukan perbuatan hukum dengan pihak ketiga dalam masa perkawinan atau selama perkawinan berlangsung sebelum perjanjian perkawinan dibuat, misalnya mempunyai hutang/kredit di bank, tetap menjadi kewajiban atau tanggung jawab bersama suami dan isteri.
Konsekwensinya, sejak dibuatnya perjanjian perkawinan pemisahan harta, baik suami maupun isteri berkewenangan untuk melakukan perbuatan hukum atas harta kekayaan yang akan ada atau diperoleh kemudian dari pekerjaan atau usahanya masing-masing dalam masa perkawinan atau selama perkawinan berlangsung tanpa perlu lagi meminta ijin atau persetujuan pasangannya, seperti menjual, menyewakan, menggadaikan, menjaminkan, meminjamkan, dll. Begitu juga terhadap hutang kepada perorangan/bank yang akan ada kemudian dalam masa perkawinan atau selama perkawinan berlangsung, maka sejak dibuatnya perjanjian perkawinan pemisahan harta, baik suami maupun isteri bertanggung jawab sendiri-sendiri atas hutangnya masing-masing tersebut. Pendek kata, tidak ada lagi percampuran harta kekayaan dan hutang suami isteri. Ketika terjadi perceraian, maka tidak perlu lagi dilakukan pembagian harta bersama dan penyelesaian tanggungan hutang bersama.
Silahkan baca juga, “Perjanjian Perkawinan Pasca Putusan MK Harus Dicatatkan dan Otentik..??”
Apa langkah selanjutnya ketika ingin membuat perjanjian perkawinan pemisahan harta tersebut?
Dikutip dari hukumonline.com, Edna Anindito, Notaris dan Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT), memberikan saran bagi pasangan yang hendak membuat perjanjian perkawinan. Sarannya, “Ketika ingin membuat perjanjian perkawinan, terlebih dahulu melakukan listing mengenai harta benda yang dimiliki dan membuat kesepakatan dengan pasangan. Penting juga untuk melakukan konsultasi kepada ahli hukum atau pengacara mengenai pembagian dan kepemilikan harta. Dengan begitu akan mempermudah pembuatan perjanjian perkawinan.” Lebih lanjut, katanya, “Kalau bisa sebelum datang ke notaris, pasangan suami istri yang ingin membuat perjanjian perkawinan terlebih dahulu memiliki draf yang sebelumnya dikonsultasikan kepada pengacara dan disepakati. Dibuat juga listing harta yang dimiliki dan pembagiannya. Jangan sampai datang ke notaris tidak memiliki draf dan menyerahkan sepenuhnya kepada notaris.”
Kenapa? Menurutnya, “Tidak semua notaris memiliki ragam perjanjian perkawinan. Terkadang ada notaris yang hanya memiliki satu tipe perjanjian perkawinan. Dampaknya adalah kepada pasangan yang membuat perjanjian perkawinan tidak sesuai dengan kondisi mereka, sehingga draf yang sudah bagus sangat dibutuhkan ketika ingin membuat perjanjian perkawinan.” Lanjutnya lagi, “Ada yang ingin menyerahkan kepada notaris sepenuhnya tanpa memiliki draf awalan terlebih dahulu. Nanti efeknya baru akan terasa setalah sekian lama. Ketika ada perselisihan dan membaca perjanjian perkawinan yang tidak sesuai dengan kondisinya maka akan bingung.”
Silahkan baca juga, “Ini Persyaratan dan Tata Cara Pencatatan -bukan Pengesahan- Perjanjian Perkawinan”
Penulis sependapat dengan saran tersebut. Dalam konteks ini, keberadaan dan peran pengacara atau advokat cukup penting dalam membantu pasangan (calon mempelai atau suami isteri) yang hendak membuat perjanjian perkawinan pemisahan harta. Setidaknya, pengacara atau advokat dapat membantu menginventarisir atau menelaah harta kekayaan yang dimiliki dan merumuskan muatan materi yang dapat atau patut dimuat dalam draft perjanjian serta mengkomunikasikan kepentingan pasangan (calon mempelai atau suami isteri) kepada notaris, terkait pemisahan harta tersebut.
Semoga bermanfaat.
Sumber/pustaka :
- Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor: 69/PUU-XIII/2015
- Postnuptial Agreement dan Mekanisme Pendaftarannya - http://irmadevita.com/2018/postnuptial-agreement-dan-mekanisme-pendaftarannya/
- Ini yang Bisa Diatur di Perjanjian Perkawinan - https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt583c0af7e75a6/ini-yang-bisa-diatur-di-perjanjian-perkawinan
Gambar : https://pixabay.com/id/daftar-periksa-pilihan-prioritas-2277707/