Pasal 35 ayat (1) UU Perkawinan, menyebutkan, “Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama”. Pemisahan harta benda suami isteri hanya dapat dilakukan dengan perjanjian perkawinan menurut Pasal 29 UU Perkawinan.
Putusan
MK Nomor: 69/PUU-XIII/2015, telah memperluas pengajuan perjanjian perkawinan dalam Pasal 29 ayat (1) UU
Perkawinan. Dari yang sebelumnya, hanya dapat diajukan “pada waktu atau sebelum
perkawinan dilangsungkan” menjadi “pada waktu atau sebelum perkawinan
dilangsungkan atau selama dalam perkawinan”.
Baca juga artikel “Putusan Mahkamah Konstitusi Terhadap Perjanjian Perkawinan Yang Patut Anda Simak”.
Meski
dapat dikatakan sebagai sebuah terobosan hukum, putusan MK tersebut ternyata memunculkan
polemik hukum tersendiri dalam implementasinya. Khususnya, terhadap persatuan/percampuran
harta benda suami isteri (harta bersama) yang terjadi sebelum perjanjian
perkawinan dibuat. Mengapa..??
Dengan
diperluas menjadi “...atau selama dalam perkawinan..” (Pasal 29 ayat (1) UU
Perkawinan), maka terbuka pula kesempatan bagi suami isteri yang sebelumnya (pada
saat atau sebelum perkawinan dilangsungkan) tidak atau belum pernah membuat
perjanjian perkawinan, untuk kemudian selama dalam perkawinan membuat
perjanjian perkawinan.
Polemik
hukum mulai muncul ketika berlakunya perjanjian perkawinan ditentukan sejak
perkawinan berlangsung, sedangkan perjanjian perkawinan dibuat selama
perkawinan berlangsung. Terkait polemik hukum tersebut, Dr. Herlien Budiono,
S.H, dalam Makalah Kuliah Umum-nya “Perjanjian Perkawinan Pasca Putusan
Mahkamah Konstitusi Nomor 69 Tahun 2015 dan Permasalahannya”, hal. 20, mengemukakan
pula beberapa pertanyaan, "apakah atas harta bersama tersebut harus dibagi dua
dan ditentukan mana yang merupakan bagian suami dan mana yang merupakan bagian
isteri, atau ditentukan bahwa sebelum perjanjian perkawinan terjadi
persatuan/percampuran harta benda, sedangkan sejak perjanjian perkawinan
terjadi pemisahan harta benda".
Menjawab
pertanyaan tersebut, Dr. Herlien Budiono, S.H, selanjutnya berpendapat bahwa "sebaiknya
dianjurkan agar sejak saat perkawinan hingga tanggal perjanjian perkawinan
dibuat tetap merupakan harta campur, sedangkan sejak perjanjian perkawinan
terjadi pisah harta. Hal tersebut terlebih lagi apabila ada benda yang telah
diagunkan pada bank yang apabila dilakukan pembagian di antara suami isteri
dapat merugikan pihak bank".
Dijelaskan
pula (hal. 21 dan 25), bahwa "menurut doktrin membagikan dan memisahkan harta perkawinan tidak
dapat dilakukan atas persetujuan bersama karena tidak adanya alasan bersama
untuk melakukannya berkaitan dengan pemilikan bersama yang terikat (pemilikan
bersama atas suatu benda yang merupakan akibat dari suatu peristiwa hukum).
Pemilikan bersama yang terikat baru dapat diakhiri karena meninggalnya suami
atau isteri atau perceraian suami atau isteri".
Baca kelanjutannya (bagian-2),... klik DISINI.
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkunjung dan membaca artikel kami...
Setiap komentar akan dimoderasi terlebih dahulu. Jadi, mohon sampaikan komentar sesuai dengan judul dan konten artikel, santun, tidak mengandung SARA, bukan iklan, dan tanpa SPAM.
Salam sukses selalu untuk anda..!!