Mencermati Putusan Mahkamah Konstitusi Terhadap Pengecualian “Rahasia Bank” Untuk Kepentingan Peradilan Mengenai Harta Bersama dalam Perkara Perceraian (bagian-2)

Melalui putusannya tersebut, MK telah memberikan pengecualian tambahan terhadap kerahasiaan bank atas data nasabah penyimpan dan simpanannya di bank, selain yang diatur dalam Pasal 40 ayat (1) UU Perbankan. Artinya, dengan adanya putusan MK ini, maka pengecualian kerahasiaan bank atas data nasabah penyimpan dan simpanannya dalam Pasal 40 ayat (1) UU Perbankan menjadi termasuk juga “untuk kepentingan peradilan mengenai harta bersama dalam perkara perceraian”, selain :
  • untuk kepentingan perpajakan (Pasal 41), 
  • untuk penyelesaian piutang bank yang sudah diserahkan kepada Badan Urusan Piutang dan Lelang Negara/Panitia Urusan Piutang Negara (Pasal 41A), 
  • untuk kepentingan peradilan dalam perkara pidana (Pasal 42), 
  • dalam perkara perdata antar bank dengan nasabahnya (Pasal 43), 
  • untuk kepentingan tukar-menukar informasi antar bank (Pasal 44), dan
  • atas permintaan, persetujuan, atau kuasa dari nasabah penyimpan yang dibuat secara tertulis (Pasal 44A).

Ditambahkannya pengecualian kerahasiaan bank atas data nasabah penyimpan dan simpanannya dalam putusan MK tersebut, dengan pertimbangan hukum (angka 3.14), “Bahwa dari pengecualian tersebut, terdapat norma yang membolehkan data nasabah dibuka atas perintah pengadilan, yaitu untuk perkara pidana dan perkara perdata antarbank dengan nasabahnya. Berdasarkan hal tersebut, menurut Mahkamah, akan lebih memenuhi rasa keadilan apabila data nasabah juga harus dibuka untuk kepentingan peradilan perdata terkait dengan harta bersama, karena harta bersama adalah harta milik bersama suami dan isteri, sehingga suami dan/atau isteri harus mendapat perlindungan atas haknya tersebut dan tidak boleh diambil secara sewenang-wenang oleh salah satu pihak. Hal demikian dijamin oleh Pasal 28G ayat (1) dan Pasal 28H ayat (4) UUD 1945”.

Pengecualian tambahan tersebut, telah memberikan dasar atau pijakan hukum yang terbatas bagi suami atau isteri dalam memperoleh akses informasi dari bank atas tabungan, deposito, harta benda dan produk perbankan lainnya yang dimiliki dan/atau disimpan oleh suami dan/atau isteri di bank. Yakni, hanya untuk kepentingan peradilan (pembuktian dalam persidangan di pengadilan) mengenai harta bersama dalam perkara perceraian.

Menurut penulis, frase “mengenai harta bersama dalam perkara perceraian” dalam amar putusan MK mengandung syarat atau keharusan adanya penggabungan perkara. Dalam hal ini, adalah gugatan atau perkara harta bersama yang harus digabungkan atau diajukan sekaligus dalam gugatan atau perkara perceraian. Penggabungan perkara seperti ini dikenal juga dengan istilah penggabungan atau kumulasi objektif. Dimana beberapa gugatan atau tuntutan diajukan dalam satu perkara sekaligus.

Penggabungan atau kumulasi objektif dalam konteks ini, hanya diatur dalam Pasal 66 ayat (5) dan Pasal 86 ayat 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama (UU Peradilan Agama). Akibatnya, menurut penulis, terjadilah pembatasan lingkup “peradilan” atau “subjek hukum”. Yakni, hanya dapat diajukan dalam lingkup peradilan agama saja (Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah) atau hanya dapat diajukan oleh suami dan/atau isteri yang beragama Islam atau yang perkawinannya dilakukan menurut agama Islam saja.


Di Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah, gugatan harta bersama dapat diajukan terpisah atau pun sekaligus dalam perkara perceraian. Namun dalam prakteknya, biasanya diajukan terpisah. Dimana permohonan atau gugatan perceraian (cerai talak atau cerai gugat) diajukan dulu, baru setelah ada putusan yang berkekuatan hukum tetap oleh Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah dapat diajukan gugatan atau tuntutan harta bersama. Pengajuan gugatan atau tuntutan harta bersama secara sekaligus dalam perkara perceraian, seringkali berlarut-larut penyelesaiannya, kecuali masing-masing pihak (suami dan isteri) memang telah setuju untuk bercerai yang diikuti pula dengan persetujuan atau kesepakatan pembagian harta bersama.

Ketika gugatan harta bersama diajukan terpisah atau tidak sekaligus dalam perkara perceraian di Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah, maka bank dapat menolak untuk memberikan akses informasi atas tabungan, deposito, harta benda dan produk perbankan lainnya yang dimiliki dan/atau disimpan suami dan/atau isteri di bank. Karenanya, jika terkait dengan kemungkinan perlunya akses informasi dimaksud dalam persidangan di Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah, mau tidak mau suami atau isteri harus mengajukan gugatan harta bersama sekaligus dalam perkara perceraian. Tidak ada pilihan lain sehingga kemungkinan akan berlarut-larutnya penyelesaian perkara tetaplah harus ditempuh oleh suami atau isteri. Dalam konteks ini, maka suami atau isteri yang hendak mengajukan gugatan harta bersama di Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah, yang didalamnya mencantumkan adanya tabungan, deposito, harta benda dan produk perbankan lainnya yang dimiliki dan/atau disimpan suami dan/atau isteri di bank, akhirnya pun menjadi “terbelenggu” dengan adanya syarat penggabungan atau kumulasi objektif dalam amar putusan MK dengan frase "mengenai harta bersama dalam perceraian".

Menurut penulis, mestinya amar putusan MK cukup dengan frase “mengenai harta bersama dalam perkawinan”. Hal mana selaras dengan pertimbangan hukum MK pada angka 3.15, “...sehingga setiap isteri dan/atau suami termasuk Pemohon memperoleh jaminan dan kepastian hukum atas informasi mengenai harta bersama dalam perkawinan yang disimpan di bank”. Dengan demikian, subjek hukum “setiap isteri dan/atau suami” tetap berada dalam artian yang luas. Yakni, mencakup “setiap isteri dan/atau suami” yang beragama Islam dan selain Islam atau yang perkawinannya dilakukan menurut agama Islam dan selain Islam. Atau, dapat diajukan di Pengadilan Agama/Mahkamah Syariah dan di Pengadilan Negeri. Tujuan untuk “memperoleh jaminan dan kepastian hukum” yang adil, yakni “atas informasi mengenai harta bersama dalam perkawinan yang disimpan di bank(bukan mengenai harta bersama dalam perceraian) bagi “setiap isteri dan/atau suami” juga dapat tercapai.

Semoga bermanfaat.

Kembali ke bagian-1.

Sumber/pustaka :
  • Putusan Mahkamah Konsitusi NOMOR: 64/PUU-X/2012;
  • UU Peradilan Agama (Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2003 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dan dengan Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama).
Gambar : https://pixabay.com/id/buku-kaca-pembesar-pembesar-lookup-390277/

Silahkan baca juga..



0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih telah berkunjung dan membaca artikel kami...
Setiap komentar akan dimoderasi terlebih dahulu. Jadi, mohon sampaikan komentar sesuai dengan judul dan konten artikel, santun, tidak mengandung SARA, bukan iklan, dan tanpa SPAM.
Salam sukses selalu untuk anda..!!

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | GreenGeeks Review