Polemik terkait adanya larangan bagi mantan terpidana korupsi untuk mencalonkan diri sebagai anggota legislatif, berakhir sudah dengan adanya putusan Mahkamah Agung (MA) yang membatalkan larangan tersebut. Larangan yang dibatalkan dalam putusan MA tersebut, adalah larangan menurut Pasal 60 huruf (j) Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 14 tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota DPD (PKPU 14/2018) dan Pasal 4 ayat (3) Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 20 tahun 2018 tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota (PKPU 20/2018). Masing-masing larangan dalam PKPU (PKPU 14/2018 dan PKPU 20/2018) inilah yang dimohonkan uji materiil ke MA, yang akhirnya dikabulkan oleh MA.
Ada 12 permohonan uji materiil yang diajukan kepada MA, tetapi hanya 2 permohonan yang dikabulkan MA. Terhadap 2 permohonan yang dikabulkan tersebut, dalam masing-masing amar putusannya, MA menyatakan :
- Bahwa “Pasal 60 ayat (1) huruf j Peraturan KPU Nomor 14 Tahun 2018 tentang Pencalonan Perseorangan Peserta Pemilihan Umum Anggota Dewan Perwakilan Daerah sepanjang frasa ”mantan terpidana korupsi” bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan tidak berlaku umum;” (angka 2 amar Putusan MA Nomor : 30 P/HUM/2018 tanggal 13 September 2018 atas permohonan uji materiil yang diajukan oleh LUCIANTY).
- Bahwa “Pasal 4 ayat (3), Pasal 11 ayat (1) huruf d, dan Lampiran Model B.3 Peraturan Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2018 tanggal 2 Juli 2018 tentang Pencalonan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota (Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2018 Nomor 834) sepanjang frasa “mantan terpidana korupsi” bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, yaitu dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum juncto Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, karenanya tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat dan tidak berlaku umum.” (angka 2 Putusan MA Nomor : 46 P/HUM/2018 tanggal 13 September 2018 atas permohonan uji materiil yang diajukan oleh JUMANTO).
Pasal 60 ayat (1) huruf j PKPU 14/2018 :
"(1) Perseorangan peserta Pemilu, dapat menjadi bakal calon perseorangan Peserta Pemilu Anggota DPD setelah memenuhi persyaratan:
"(1) Perseorangan peserta Pemilu, dapat menjadi bakal calon perseorangan Peserta Pemilu Anggota DPD setelah memenuhi persyaratan:
j. bukan Mantan Terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, atau korupsi;"
Pasal 4 ayat (3) dan Pasal 11 ayat (1) huruf d PKPU 20/2018
Pasal 4 ayat (3), “Dalam seleksi bakal calon secara demokratis dan terbuka sebagaimana dimaksud pada ayat (2), tidak menyertakan mantan terpidana bandar narkoba, kejahatan seksual terhadap anak, dan korupsi.”
Pasal 11 ayat (1) huruf d, “Dokumen persyaratan pengajuan bakal calon sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (1) berupa:
d. pakta integritas yang ditandatangani oleh Pimpinan Partai Politik sesuai dengan tingkatannya dengan menggunakan formulir Model B.3.”
Dengan adanya masing-masing putusan MA diatas, maka mantan terpidana korupsi menjadi memenuhi syarat untuk menjadi calon anggota DPD maupun DPR/DPRD sebagaimana disyaratkan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu). Tidak lagi terhalangi dengan syarat dalam Pasal 60 ayat (1) huruf (j) PKPU 14/2018 dan Pasal 4 ayat (3) dan Pasal 11 ayat (1) huruf d PKPU 20/2018.
Pertanyaannya, apakah dengan dikabulkannya permohonan uji materiil tersebut, MA pro koruptor..??
Penulis tidak sependapat jika ada pandangan seperti itu. Putusan MA tersebut tidaklah dapat dianggap sebagai bentuk keberpihakan MA.
Menurut penulis, putusan MA sudah tepat. MA telah memutus secara objektif dengan dasar hukum yang jelas. Dan juga, telah sesuai dengan kewenangannya menguji peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang terhadap peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (Undang-Undang) berdasarkan Pasal 24A ayat (1) Perubahan Ketiga Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 (UUD 1945), Pasal 31A Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung (UU MA) dan Pasal 20 ayat (2) huruf b Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman), serta Pasal 1 angka 1 Peraturan Mahkamah Agung (PerMA) Nomor 1 Tahun 2011 tentang Hak Uji Materiil (HUM). Hal mana disebutkan dalam pertimbangan hukum MA.
Pasal 24A ayat (1) Perubahan Ketiga UUD 1945 :
“Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat Kasasi, menguji Peraturan Perundang-Undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang dan mempunyai wewenang lainnnya yang diberikan oleh undang-undang."
Pasal 31A Undang-Undang UU MA : lihat DISINI
Pasal 20 ayat (2) huruf b UU Kekuasaan Kehakiman:
“Mahkamah Agung berwenang menguji Peraturan Perundang-Undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang.”
Pasal 1 angka 1 PerMA HUM :
“Mahkamah Agung berwenang mengadili dan menguji pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji Peraturan Perundang-Undangan di bawah undang-undang terhadap undang-undang.”
Mencermati pendapat MA dalam pertimbangan hukumnya, pokok persoalan yang harus dijawab MA sesuai kewenangannya, sebenarnya sederhana. Yakni, soal “apakah masing-masing PKPU dimaksud bertentangan dengan Undang-Undang atau tidak?”. Jika bertentangan, maka MA harus membatalkan ketentuan PKPU dimaksud. Sedangkan jika tidak, maka MA harus menolak permohonan uji materiil yang diajukan kepada MA. Khususnya, terhadap UU Pemilu dan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU Pembentukan PerUUan), selain terhadap UU HAM.
Faktanya..?? Ternyata dalam masing-masing PKPU tersebut muncul “norma baru” berupa larangan bagi mantan terpidana korupsi menjadi calon anggota DPD maupun DPR/DPRD, sebagaimana diatur dalam Pasal 60 ayat (1) huruf (j) PKPU 14/2018 dan Pasal 4 ayat (3) PKPU 20/2018, terkait frasa ”mantan terpidana korupsi”. Padahal, berdasarkan Pasal 182 huruf g dan Pasal 240 ayat (1) huruf g UU Pemilu, mantan terpidana korupsi tidak dilarang untuk mencalonkan diri sebagai anggota DPD maupun DPR/DPRD. Disinilah pokok persoalan yang harus dijawab MA.
Pasal 182 huruf g dan Pasal 240 ayat (1) huruf g UU Pemilu
Pasal 182 huruf g :
“Perseorangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 181 dapat menjadi peserta pemilu setelah memenuhi persyaratan:
g. tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana;”
Pasal 240 ayat (1) huruf g :
“Bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/kota adalah Warga Negara Indonesia dan harus memenuhi persyaratan:
g. tidak pernah dipidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih, kecuali secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana;"
Nampaklah ada ketidaksesuaian antara materi muatan dalam PKPU dengan UU Pemilu sebagai acuan hukumnya yang secara hirarki peraturan perundang-undangan jauh lebih tinggi dari PKPU. Seharusnya, masing-masing PKPU tersebut tetap mengacu pada UU Pemilu. Ketika dalam UU Pemilu tidak melarang mantan terpidana korupsi untuk mencalonkan diri lagi, maka PKPU pun tidak boleh melarang sehingga tidak perlu ada penambahan “norma baru” diluar yang diatur dalam UU Pemilu.
Menurut MA, meski dilandasi dengan semangat penyelenggaraan Pemilu yang adil dan berintegritas yang terkandung dalam masing-masing PKPU terkait larangan tersebut. Dimana pencalonan anggota legislatif harus berasal dari figur yang bersih dan tidak pernah memiliki rekam jejak cacat integritas. Namun demikian, larangan tersebut seharusnya dimuat dalam Undang-Undang, bukan dalam peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang in casu PKPU 14/2018 dan PKPU 20/2018.
Terhadap ketidaksesuaian tersebut, maka MA pun dalam masing-masing putusannya diatas, membatalkan masing-masing PKPU tersebut. Bukan karena MA pro dengan koruptor, tapi karena masing-masing PKPU tersebut, yakni Pasal 60 huruf (j) PKPU 14/2018 bertentangan dengan Pasal 182 huruf g dan Pasal 4 ayat (3) PKPU 20/2018 bertentangan dengan Pasal 240 ayat (1) huruf g UU Pemilu dan Pasal 5 huruf c UU Pembentukan PerUUan. Jadi, putusan MA tersebut sangatlah beralasan, sesuai dengan kewenangannya dan dengan dasar hukum yang jelas.
Pasal 5 huruf c UU Pembentukan PerUUan :
"Dalam membentuk Peraturan Perundang-undangan harus dilakukan berdasarkan pada asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, yang meliputi:
c. kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan;"
Semoga bermanfaat.
Sumber/pustaka :
- Putusan MA Nomor : 30 P/HUM/2018
- Putusan MA Nomor : 46 P/HUM/2018
- https://www.jpnn.com/news/ma-bantah-pro-koruptor
- https://www.merdeka.com/peristiwa/izinkan-eks-koruptor-boleh-nyaleg-ma-tegaskan-konsisten-berantas-korupsi.html
- https://nasional.kompas.com/read/2018/09/14/23015311/ma-seharusnya-larangan-eks-koruptor-diatur-dalam-undang-undang
- https://tirto.id/ma-kabulkan-uji-materi-pkpu-larangan-eks-koruptor-jadi-caleg-cYZa
- https://tirto.id/ma-hanya-kabulkan-2-dari-12-gugatan-pkpu-soal-pencalonan-dpr-cZtw
- http://www.dpr.go.id/dokjdih/document/uu/UU_2009_3.pdf
- http://www.dpr.go.id/dokjdih/document/uu/UU_2011_12.pdf
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkunjung dan membaca artikel kami...
Setiap komentar akan dimoderasi terlebih dahulu. Jadi, mohon sampaikan komentar sesuai dengan judul dan konten artikel, santun, tidak mengandung SARA, bukan iklan, dan tanpa SPAM.
Salam sukses selalu untuk anda..!!