Perjanjian Perkawinan Pasca Putusan MK, Harus Dicatatkan dan Otentik..?? (bagian-2) - Update

Putusan MK adalah putusan yang final dan mengikat. Tidak bisa lagi diajukan upaya hukum apa pun terhadap suatu putusan MK.

Suka atau tidak suka, mau atau tidak mau, haruslah dilaksanakan atau dijalankan sebagaimana mestinya secara utuh dan menyeluruh. Interpretasi dalam implementasinya pun harus tetap sejalan atau selaras dengan isi atau materi yang dimuat dalam putusan MK.

Pengesahan dan pencatatan adalah dua istilah yang sangat berbeda dan bukanlah sebagai padanan kata (sinonim). Pengesahan bukanlah pencatatan, begitu juga sebaliknya. Masing-masing istilah tersebut memiliki pemaknaan dan implikasi hukumnya sendiri-sendiri.


Telah jelas dan tegas, bahwa dalam konteks ini substansi amar putusan MK terhadap Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan, memuat “perintah” pengesahan. Yakni, pengesahan perjanjian perkawinan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris, bukan pencatatan pelaporan perjanjian perkawinan sebagaimana diatur dalam SE Dirjen Dukcapil dan SE Dirjen Bimas Islam. Sebelum adanya putusan MK tersebut, substansi Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan juga memuat “perintah” pengesahan, bukan pencatatan. 

Agar suatu perjanjian perkawinan dapat berlaku terhadap pihak ketiga yang terkait atau yang memiliki kepentingan, maka disyaratkan adanya pengesahan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris, bukan pencatatan. Itulah “perintah” MK dalam putusan MK terhadap Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan. MK dalam putusannya, sama sekali tidak mensyaratkan adanya pencatatan perjanjian perkawinan. Jadi, jangan dirancukan atau dikaburkan substansi dari “perintah” pengesahan dalam putusan MK terhadap Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan tersebut menjadi pencatatan.

Begitu juga bentuk perjanjian perkawinan. Telah jelas dan tegas pula dalam putusan MK terhadap Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan, terdapat alternatif atau pilihan bentuk perjanjian perkawinan yang bisa dibuat oleh para pihak, yakni dalam bentuk di bawah tangan atau otentik. Jadi, bukan hanya dalam bentuk otentik (akta notaris) saja.

Jika memang dikehendaki adanya pencatatan pelaporan perjanjian perkawinan, seharusnya mencakup juga perjanjian perkawinan dalam bentuk otentik (akta notaris) mau pun di bawah tangan, yang telah disahkan oleh pengawai pencatat perkawinan atau notaris, sebagaimana “perintah” yang dimuat dalam putusan MK terhadap Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan. Bukan justru meniadakan salah satunya, dengan hanya memuat mekanisme pencatatan pelaporan perjanjian perkawinan yang dibuat dalam bentuk otentik (akta notaris) saja.

Mekanisme pencatatan pelaporan perjanjian perkawinan seperti itu pun mestinya hanya untuk tertib adminitratif saja atau sebagai tambahan. Bukan sebagai syarat publisitas agar dapat berlaku terhadap pihak ketiga yang terkait atau yang memiliki kepentingan. Kewajiban pencatatan dan pelaporannya kepada instansi pelaksana pada dinas Dukcapil pun tidaklah dibebankan kepada para pihak tapi dilakukan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris setelah mengesahkan perjanjian perkawinan yang diajukan oleh para pihak kepadanya.


Kalau pun timbul polemik dalam pelaksanaannya, khususnya di kalangan notaris dengan batasan kewenangan pengesahan (legalisasi) oleh notaris dalam Pasal 15 ayat (2) huruf a dan huruf d Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2004 tentang Jabatan Notaris (selanjutnya disebut UUJN), tidaklah kemudian dibuat mekanisme yang justru menghilangkan atau meniadakan eksistensi perjanjian perkawinan dalam bentuk di bawah tangan.


Dalam konteks ini, menurut penulis, kewenangan baru yang diberikan kepada notaris dalam putusan MK terhadap Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan tersebut sebenarnya tidak perlu menjadi polemik dengan adanya batasan kewenangan dalam Pasal 15 ayat (2) huruf a dan huruf d UUJN. Kewenangan baru notaris dalam hal pengesahan terhadap perjanjian perkawinan di bawah tangan mestinya dapat langsung dilaksanakan tanpa perlu dibuat aturan pelaksanaan teknisnya.

Ketika notaris diminta mengesahkan sebuah perjanjian perkawinan dalam bentuk di bawah tangan, jalankan saja sesuai dengan batasan kewenangan pengesahan dalam Pasal 15 ayat (2) huruf a dan huruf d UUJN tersebut. Tidak perlu diribetkan dengan persoalan sah tidaknya isi atau materi dalam perjanjian perkawinan di bawah tangan. Bukankah kewenangan pengesahan perjanjian perkawinan yang diberikan kepada notaris dalam putusan MK terhadap Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan juga tidak mensyaratkan hal tersebut. Sedangkan kewenangan pegawai pencatat perkawinan pengesahan terhadap perjanjian perkawinan dalam bentuk di bawah tangan tetap dapat dijalankan seperti sebelumnya. Dengan demikian, baik notaris mau pun pegawai pencatat perkawinan tetap dapat melaksanakan kewenangannya masing-masing dalam hal pengesahan terhadap perjanjian perkawinan dalam bentuk di bawah tangan.

Hal yang sama juga dapat langsung dilaksanakan terhadap perjanjian perkawinan yang dibuat dalam bentuk otentik. Dengan dibuat dan dibacakan serta ditandatanganinya perjanjian perkawinan di depan notaris atau dituangkan dalam akta notaris (notariil), maka terhadap perjanjian perkawinan tersebut, mulai dari kepala akta, isi atau materi, hingga tanda tangan para pihak maupun saksi-saksi, dengan sendirinya (otomatis) menjadi “disahkan” pula oleh notaris yang membuat akta notaris perjanjian perkawinan tersebut. Eksistensi dan kewenangan notaris dalam hal membuat dan mengesahkan perjanjian perkawinan harus dipahami berada dalam “satu kemasan”, yakni membuat dan sekaligus otomatis “mengesahkan” akta notaris perjanjian perkawinan, bukan secara terpisah atau sendiri-sendiri. Karenanya, tidak perlu dilakukan pengesahan tersendiri lagi oleh pegawai pencatat perkawinan (atau notaris lagi).

Hal tersebut bukanlah untuk meniadakan kewenangan pegawai pencatat perkawinan, tapi sebagai implikasi hukum yang logis dari adanya kewenangan pengesahan yang juga diberikan kepada notaris, yang sebelum adanya putusan MK hanya dimiliki oleh pegawai pencatat perkawinan. Implementasi dengan interpretasi seperti ini masih tetap sejalan atau selaras dengan substansi “perintah” dalam putusan MK terhadap Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan.


Jadi, berdasarkan paparan diatas, sebagaimana “perintah” dalam putusan MK terhadap Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan, jelaslah bahwa terhadap perjanjian perkawinan, seharusnya tidaklah dengan mekanisme dicatatkan tapi disahkan (oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris). Juga bukan hanya dalam bentuk yang otentik saja, tapi seharusnya dapat pula dibuat dalam bentuk di bawah tangan atau pun otentik.  

Semoga bermanfaat.

Sumber/pustaka :
Gambar :
  • https://pixabay.com/id/detektif-mencari-pria-pencarian-1424831/

Silahkan baca juga..



0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih telah berkunjung dan membaca artikel kami...
Setiap komentar akan dimoderasi terlebih dahulu. Jadi, mohon sampaikan komentar sesuai dengan judul dan konten artikel, santun, tidak mengandung SARA, bukan iklan, dan tanpa SPAM.
Salam sukses selalu untuk anda..!!

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | GreenGeeks Review