Perjanjian perkawinan atau yang lebih sering dikenal dengan istilah perjanjian pranikah (Prenuptial Agreement), tentunya sudah tidak asing lagi di telinga kita. Setidaknya, istilah tersebut sedikit banyak sudah pernah kita dengar.
Di negeri kita yang masyarakatnya masih sangat menjunjung tinggi kesakralan perkawinan ini, mungkin saja memandang perjanjian perkawinan tersebut sebagai sesuatu yang tabu untuk untuk dibicarakan sebelum dilangsungkannya perkawinan. Perjanjian perkawinan masih mengandung persepsi negatif dan menjadi suatu persoalan yang sensitif. Karenanya, tidak heran jika dalam kenyataannya begitu banyak pasangan yang melangsungkan perkawinan tanpa membuat perjanjian perkawinan. Realitas seperti ini adalah wajar dan maklum adanya mengingat prinsip kesakralan sebuah perkawinan itu sendiri.
Sepasang kekasih yang sedang jatuh cinta pun kerapkali larut dengan perasaan subjektif mereka sehingga mengenyampingkan segala hal menyangkut latar belakang sosial, ekonomi, agama, dll, diantara mereka. Mereka tidak mau diribetkan dengan segala hal lainnya diluar apa yang mereka alami dan rasakan saat itu.
Perjanjian perkawinan menjadi hal yang sensitif untuk dibicarakan karena dipandang hanya akan menimbulkan kesalahpahaman atau bahkan perpecahan, seolah-olah telah meragukan atau tidak percaya lagi dengan “kualitas cinta” pasangannya. Terkesan bahwa 'belum apa-apa koq sudah membahas pemisahan harta kekayaan, dsb'. Mereka pun menjadi enggan untuk mengajukannya apalagi sampai membicarakan hingga menuangkannya secara tertulis dalam sebuah perjanjian perkawinan, meskipun saat itu mungkin saja sempat terlintas dibenak masing-masing.
Hukum positif kita yang mengatur mengenai perkawinan pun pada hakekatnya mengandung prinsip kesakralan dalam merumuskan pengertian perkawinan. Dalam ketentuan Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan), disebutkan : “Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa”. Selanjutnya, dalam Penjelasannya, disebutkan : ..., maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama/kerohanian, sehingga perkawinan bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani, tetapi unsur batin/rohani juga mempunyai peranan yang penting,..”.
Namun demikian, di sisi lain ternyata perjanjian perkawinan juga diakui dan dimasukkan pula oleh pembentuk undang-undang dalam UU Perkawinan. Hal mana dapat dilihat dalam ketentuan Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan, yang menyebutkan : “Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga tersangkut”. Nampaklah bahwa kesakralan perkawinan tidak menghalangi UU Perkawinan untuk tetap mengakomodir atau memfasilitasi keinginan individu-individu yang hendak membuat perjanjian perkawinan.
Baca lanjutannya... Klik disini.
Pokrol Online

Posted in:
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkunjung dan membaca artikel kami...
Setiap komentar akan dimoderasi terlebih dahulu. Jadi, mohon sampaikan komentar sesuai dengan judul dan konten artikel, santun, tidak mengandung SARA, bukan iklan, dan tanpa SPAM.
Salam sukses selalu untuk anda..!!