Perjanjian perkawinan tidaklah dapat dipahami semata-mata hanya untuk mengamankan harta kekayaan pasangan suami atau isteri jika di kemudian hari terjadi perceraian. Ini adalah suatu paradigma yang keliru dan menyesatkan.
Jika itu motivasi atau tujuan utamanya, maka semakin melekatlah persepsi negatif terhadap perjanjian perkawinan tersebut, meskipun bukan sesuatu yang salah. Padahal, perjanjian perkawinan bukanlah melulu menyangkut soal harta kekayaan semata.
Dengan menitikberatkan pada motivasi atau tujuan utama yang seperti itu, maka perjanjian perkawinan pun menjadi seolah-olah dibuat hanya untuk mempersiapkan perceraian sedini mungkin. Kemungkinan terjadinya perceraian seolah-seolah sangat besar. Jika demikian, wajarlah saja jika pada akhirnya perjanjian perkawinan pun makin menjadi hal yang sangat sensitif dan tabu untuk dibicarakan sebelum perkawinan dilangsungkan. Setiap pasangan pun akhirnya lebih memilih untuk melangsungkan perkawinan tanpa didahului dengan suatu perjanjian perkawinan, meskipun mungkin saja saat itu ada keinginan untuk membuat perjanjian perkawinan.
Menilik ketentuan Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan, jelas-jelas tidak membatasi ruang lingkup atau batasan-batasan perjanjian perkawinan. Setiap pasangan diberikan kebebasan merumuskan klausul-klausul yang hendak mereka muat dalam perjanjian perkawinan sepanjang tidak melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan (Pasal 29 ayat (2) UU Perkawinan). Itu berarti, isi perjanjian perkawinan tidak terbatas hanya pada soal materi atau harta kekayaan saja.
Dengan atau tanpa adanya perjanjian perkawinan, perceraian tetap mungkin saja terjadi dengan segala akibat hukumnya. Kebahagiaan dan kekekalan sebuah perkawinan (rumah tangga) adalah tanggung jawab suami isteri yang harus diperjuangkan bersama.
Dengan atau tanpa adanya perjanjian perkawinan, perceraian tetap mungkin saja terjadi dengan segala akibat hukumnya. Kebahagiaan dan kekekalan sebuah perkawinan (rumah tangga) adalah tanggung jawab suami isteri yang harus diperjuangkan bersama.
Ingatlah juga, bahwa hakekat perkawinan sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1 UU Perkawinan adalah “ikatan lahir batin sebagai suami isteri”. Ketika seorang pria dan seorang wanita melangsungkan perkawinan, itu berarti keduanya telah berkomitmen sepenuhnya dengan kerelaan yang tulus dan ikhlas untuk mengikatkan diri masing-masing menjadi satu kesatuan jiwa dan raga mereka untuk mengarungi bahtera rumah tangga. Karenanya, suami isteri berkewajiban untuk tetap konsisten dengan komitmennya tersebut untuk menjadikan perkawinannya "bahagia dan kekal".
Pertanyaannya, apakah perjanjian perkawinan itu memang perlu atau harus dibuat? Jawabannya, bisa ya dan bisa juga tidak. Itu sebuah pilihan, bukan keharusan atau larangan. Setiap pasangan bebas menentukannya, apakah perlu dibuat perjanjian perkawinan atau tidak.
Yang terpenting adalah bahwa motivasi atau keinginan untuk membuat perjanjian perkawinan tersebut haruslah benar-benar lahir untuk tujuan yang lebih mulia, yakni demi menjaga konsistensi atas komitmen yang diikrarkan bersama ketika melangsungkan perkawinan. Dengan kata lain, perjanjian perkawinan tersebut harus dibuat dan dirumuskan bersama dalam rangka memelihara dan mempertahankan eksistensi dan kelangsungan perkawinan itu sendiri. Mengenai teknis perumusan klausul-klausul hukum atau hal-hal apa saja yang hendak dituangkan dalam perjanjian perkawinan, dapat dikonsultasikan terlebih dahulu dengan Advokat atau Pengacara mana pun, yang menjadi pilihan anda.
Semoga bermanfaat.
Kembali ke bagian 1
Sumber : Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkunjung dan membaca artikel kami...
Setiap komentar akan dimoderasi terlebih dahulu. Jadi, mohon sampaikan komentar sesuai dengan judul dan konten artikel, santun, tidak mengandung SARA, bukan iklan, dan tanpa SPAM.
Salam sukses selalu untuk anda..!!