Putusan Mahkamah Konstitusi Terhadap Perjanjian Perkawinan yang Patut Anda Simak


Mahkamah Konstitusi (MK), pada tanggal 27 Oktober 2016, telah mengeluarkan putusannya Nomor: 69/PUU-XII/2015 atas permohonan pengujian Pasal  21 ayat (1), ayat (3), Pasal 36 ayat (1) UUPA, Pasal 29 ayat (1), ayat (3), ayat (4) dan Pasal 35 ayat (1) UU Perkawinan terhadap UUD 1945 yang diajukan oleh Ny. Ike Farida (pemohon) dengan didampingi oleh Advokat atau Pengacara sebagai kuasa hukumnya. Putusan mana mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian, yakni pengujian Pasal 29 ayat (1), ayat (3), dan ayat (4) UU Perkawinan terhadap UUD 1945.

Putusan MK tersebut telah membawa perubahan terhadap ketentuan hukum dalam UU Perkawinan yang selama ini mengatur perjanjian perkawinan, yakni Pasal 29 ayat (1), ayat (3) dan ayat (4) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan), antara lain :

1. Terhadap Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan;

Sebelumnya, dalam Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan, disebutkan, “Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga tersangkut”.

Menurut putusan MK, terhadap Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan tersebut, menjadi atau harus dimaknai, "Pada waktu atau sebelum atau selama dalam ikatan perkawinan, kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis baik dibuat dalam bentuk di bawah tangan atau otentik untuk disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan atau notaris setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga tersangkut"

Putusan MK terhadap Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan tersebut, dapat dijabarkan sebagai berikut :
  • Perjanjian perkawinan tidak lagi hanya bisa dibuat pada saat atau sebelum perkawinan dilangsungkan (prenuptial agreement), tapi juga bisa dibuat selama dalam perkawinan (postnuptial agreement). Intinya, perjanjian perkawinan dapat dibuat kapan saja, yakni sebelum, pada saat atau setelah perkawinan dilangsungkan (selama dalam perkawinan)
  • Bentuk perjanjian tertulis (perjanjian perkawinan) tidak lagi samar, tapi lebih tegas, yakni dapat dibuat dalam bentuk dibawah tangan atau otentik. 
  • Menempatkan notaris dalam hal kewenangan pengesahan perjanjian perkawinan selain pegawai pencatat perkawinan, yang sebelumnya tidak ada. Pengesahan tersebut diperlukan agar perjanjian perkawinan mempunyai sifat publisitas dan berlaku sebagai undang-undang, bukan hanya bagi mereka yang membuatnya, tapi juga berlaku bagi pihak ketiga yang terkait atau memiliki kepentingan terhadapnya.
2. Terhadap Pasal 29 ayat (3) UU Perkawinan;

Sebelumnya, dalam Pasal 29 ayat (3) UU Perkawinan, disebutkan, "Perjanjian tersebut diimulai berlaku sejak perkawinan dilangsungkan".

Menurut putusan MK, terhadap Pasal 29 ayat (3) UU Perkawinan tersebut, harus dimaknai, “Perjanjian tersebut mulai berlaku sejak perkawinan berlangsung, kecuali ditentukan lain dalam Perjanjian Perkawinan”.

Putusan MK terhadap Pasal 29 ayat (3) UU Perkawinan tersebut, dapat dijabarkan bahwa perjanjian perkawinan hanya dapat dan/atau dianggap mulai berlaku sejak perkawinan berlangsung, apabila ternyata dalam perjanjian perkawinan tersebut para pihak tidak mencantumkan atau menentukan lain mengenai kapan saat (waktu/tanggal) mulai berlakunya  perjanjian perkawinan yang mereka buat.

3. Terhadap Pasal 29 ayat (4) UU Perkawinan;

Sebelumnya, dalam Pasal 29 ayat (4) UU Perkawinan, disebutkan, “Selama perkawinan berlangsung perjanjian tersebut tidak dapat dirubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga”.

Menurut putusan MK, terhadap Pasal 29 ayat (4) UU Perkawinan tersebut, harus dimaknai, “Selama perkawinan berlangsung, perjanjian perkawinan dapat mengenai harta perkawinan atau perjanjian lainnya, tidak dapat diubah atau dicabut, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk mengubah atau mencabut, dan perubahan atau pencabutan tidak merugikan pihak ketiga”.

Putusan MK terhadap Pasal 29 ayat (4) UU Perkawinan tersebut, dapat dijabarkan sebagai berikut :
  • Memperluas muatan isi perjanjian perkawinan, dapat mengenai harta perkawinan atau perjanjian lainnya.
  • Perjanjian perkawinan selama perkawinan berlangsung, bukan hanya dapat diubah tapi juga dapat dicabut, dengan syarat apabila ada persetujuan kedua belah pihak dan tidak merugikan pihak ketiga.

Berlaku bagi pasangan perkawinan campuran (WNA-WNI) atau sesama WNI;

Mengenai ketiganya (Pasal 29 ayat (1), ayat (3), ayat (4) UU Perkawinan) tersebut diatas, tidak saja berlaku bagi pasangan calon suami isteri atau suami isteri dalam perkawinan campuran (WNA dengan WNI), tapi berlaku pula bagi pasangan calon suami isteri atau suami isteri dalam perkawinan sesama WNI.

Semoga bermanfaat.

Sumber/pustaka :
  • Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
  • Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69 Tahun 2015 http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/public/content/persidangan/putusan/69_PUU-XIII_2015.pdf
  • Dr. Herlien Budiono, S.H., Perjanjian Perkawinan Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 69 Tahun 2015 dan Permasalahannya, Makalah Kuliah Umum, Program Studi Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945, Semarang, 27 Mei 2017.
  • http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt5847e8ddabfea/keberlakuan-putusan-mk-tentang-perjanjian-kawin-terhadap-perkawinan-wni
  • http://www.notary.my.id/2016/11/pembuatan-perjanjian-perkawinan-pasca.html
Gambar : https://pixabay.com

Silahkan baca juga..



0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih telah berkunjung dan membaca artikel kami...
Setiap komentar akan dimoderasi terlebih dahulu. Jadi, mohon sampaikan komentar sesuai dengan judul dan konten artikel, santun, tidak mengandung SARA, bukan iklan, dan tanpa SPAM.
Salam sukses selalu untuk anda..!!

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | GreenGeeks Review