Dalam praktek,
seringkali terjadi perjanjian perkawinan dibuat dengan akta notaris. Lalu, bagaimana jika hanya ingin membuat perjanjian perkawinan
dibawah tangan saja..?? Bolehkah..??
Ketentuan Hukum.
Ketentuan Hukum.
Sebelumnya, mari kita simak dulu sejenak beberapa ketentuan hukum dibawah ini.
Menurut
KUH Perdata, yakni Pasal 147 Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (KUH Perdata), yang menyebutkan, “Perjanjian kawin harus dibuat dengan akta notaris sebelum pernikahan
berlangsung, dan akan menjadi batal bila tidak dibuat secara demikian.
Perjanjian itu akan mulai berlaku pada saat pernikahan dilangsungkan, tidak
boleh ditentukan saat lain untuk itu.”
Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan), yakni Pasal 29 ayat (1) jo Pasal 66 UU Perkawinan;
- Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan, menyebutkan, “Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga tersangkut”. Jika menilik ketentuan tersebut, tegas-tegas hanya disebutkan ‘perjanjian tertulis’ tanpa diikuti dengan keharusan dibuat dalam bentuk akta notaris/otentik."
- Pasal 66 UU Perkawinan, menyebutkan, "Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-undang ini, maka dengan berlakunya Undang-undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijke Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonantie Christen Indonesiaers, S 1933 No. 74), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de gemeng de Huwelijken S 1898 No. 158) dan peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku."
Mengacu pada Pasal 147 KUH Perdata, maka perjanjian perkawinan itu haruslah dibuat dengan akta notaris (notariil/otentik), bukan dibawah tangan. Sedangkan jika mengacu pada Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan, hanya disebutkan sebagai perjanjian tertulis tanpa ada penegasan, apakah harus dengan akta notaris atau bawah tangan. Karenanya, haruslah dipahami bahwa ketentuan tersebut memberikan keleluasaan untuk membuat perjanjian perkawinan, bahwa perjanjian perkawinan bisa dibuat dengan akta notaris, dibawah tangan saja, atau dibawah tangan dengan legalisasi notaris. Terjadi dualisme hukum..?? Bagaimana seharusnya..??
Berlaku asas "Lex Spesialis Derogat Lex Generalis".
Tidak ada dualisme hukum, jika kita tetap konsisten dengan asas hukum “lex spesialis derogat lex generalis” (aturan hukum yang bersifat khusus mengenyampingkan aturan hukum yang bersifat umum). Jadi, acuan hukum yang seharusnya dipakai adalah Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan sebagai aturan hukum khususnya, bukan Pasal 147 KUH Perdata.
Berlaku asas "Lex Spesialis Derogat Lex Generalis".
Tidak ada dualisme hukum, jika kita tetap konsisten dengan asas hukum “lex spesialis derogat lex generalis” (aturan hukum yang bersifat khusus mengenyampingkan aturan hukum yang bersifat umum). Jadi, acuan hukum yang seharusnya dipakai adalah Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan sebagai aturan hukum khususnya, bukan Pasal 147 KUH Perdata.
Perjanjian perkawinan dimaksud, sudah diatur secara tersendiri atau khusus
dalam UU Perkawinan (lex spesialis), yakni dalam Pasal 29 ayat (1) UU
Perkawinan, tidak lagi dalam KUH Perdata (lex generalis) sehingga Pasal 147 KUH
Perdata haruslah dikesampingkan, kecuali mengenai perjanjian perkawinan tersebut
belum diatur khusus dalam UU Perkawinan (Pasal 66 UU Perkawinan). Karenanya,
perjanjian perkawinan bukanlah harus dengan akta notaris, tapi bisa dengan dibawah tangan saja atau dibawah tangan
dengan legalisasi notaris.
Kekuatan Pembuktian.
Kekuatan Pembuktian.
Memang harus diakui bahwa perjanjian perkawinan dengan akta notaris memiliki kekuatan pembuktian yang sempurna sehingga ada jaminan kepastian hukum mengenai muatan isi perjanjian, baik terhadap suami isteri sebagai para pihak maupun terhadap pihak ketiga, dibandingkan dengan perjanjian perkawinan dengan dibawah tangan saja. Intinya, ada kelemahan atau kesulitan dalam hal pembuktian keabsahan perjanjian perkawinan yang dibuat dengan dibawah tangan saja sehingga sangat rawan terjadi sengketa di kemudian hari.
Tidak meniadakan pilihan.
Pemahaman seperti itu memang benar, namun tidaklah meniadakan pilihan untuk membuat perjanjian perkawinan dengan dibawah tangan saja. Apalagi hingga membentuk paradigma hukum bahwa yang benar adalah perjanjian perkawinan harus dibuat dengan akta notaris, dengan acuan hukum Pasal 147 KUH Perdata.
Tegasnya, Pasal 29 ayat (1) UU Perkawinan adalah peraturan khususnya (lex
spesialis) dan ketentuan hukum inilah yang harus berlaku sebagai hukum
positifnya, bukan Pasal 147 KUH Perdata. Selama belum pernah direvisi, apalagi
dihapus, dan/atau belum ada peraturan pelaksanaan yang menyatakan bahwa perjanjian
perkawinan harus dibuat dengan akta notaris, maka yang berlaku adalah Pasal 29
ayat (1) UU Perkawinan.
Pemahaman konsekwensi hukumnya.
Pemahaman konsekwensi hukumnya.
Yang terpenting adalah para pihak (calon suami isteri) ketika hendak mengajukan perjanjian perkawinan dengan dibawah tangan saja telah diberikan pemahaman yang cukup mengenai konsekwensi hukumnya. Pilihan harus tetap dikembalikan kepada para pihak yang bersangkutan. Membatasi kebebasan, apalagi dengan menggunakan Pasal 147 KUH Perdata sebagai acuan hukumnya, justru bukan saja kesalahkaprahan, tapi merupakan penyimpangan hukum yang sangat mendasar atau hakiki, karena telah melanggar asas hukum yang berlaku.
Semoga bermanfaat.
Sumber:
- Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
- Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkunjung dan membaca artikel kami...
Setiap komentar akan dimoderasi terlebih dahulu. Jadi, mohon sampaikan komentar sesuai dengan judul dan konten artikel, santun, tidak mengandung SARA, bukan iklan, dan tanpa SPAM.
Salam sukses selalu untuk anda..!!