Serentetan peristiwa teror yang memakan korban jiwa kembali terjadi pada sekitar pertengahan Mei 2018 lalu. Bermula dari kericuhan di Rutan Mako Brimob, Kelapa Dua, Depok (9 dan 10 Mei 2018), hingga aksi bom bunuh diri di tiga gereja di Surabaya (13 Mei 2018) dilanjutkan dengan ledakan bom malam harinya di Rusunawa Sidoarjo, serta aksi bom bunuh diri keesokan paginya di gerbang masuk Mapolrestabes Surabaya (14 Mei 2018).
Merespon adanya serentetan peristiwa teror tersebut, pemerintah pun kemudian mendesak DPR untuk secepatnya merampungkan pembahasan draft perubahan (revisi) atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, selanjutnya disebut UU Antiterorisme 2003.
Jenderal Polisi Tito Karnavian selaku Kepala Kepolsian Republik Indonesia (selanjutnya disebut Kapolri), dalam pernyataannya saat memberikan keterangan pers di RS Bhayangkara Surabaya, Jawa Timur (13 Mei 2018), mendesak DPR untuk secepatnya merampungkan pembahasan draft revisi atas UUAT 2003. Bahkan, bila perlu dia mohon kepada Presiden Jokowi (selanjutnya disebut Presiden) untuk mengajukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu), jika UUAT 2003 tersebut terlalu lama direvisi.
Menurut Kapolri, UUAT 2003 merupakan regulasi yang responsif atau membatasi gerak Kepolisian RI (Polri) untuk mengambil tindakan secara langsung. Dia memberikan contoh, pengadilan menetapkan Jamaah Ansharut Daullah (JAD) dan Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) sebagai organisasi teroris, namun Polri tidak bisa berbuat apa-apa (menindak) jika mereka tidak melakukan apa-apa. Polri pun hanya memiliki kewenangan interview selama tujuh hari, setelah itu dilepas dan diawasi. Untuk itu, Kapolri meminta Presiden segera membuat Perppu untuk mempercepat penanganan sekaligus sebagai antisipasi tindakan teror.
Lebih lanjut, Kapolri menilai bahwa dengan payung hukum yang ada saat ini (UUAT 2003) Polri kesulitan untuk menindaklajuti penyelidikan terhadap mereka. Meski Polri sudah tahu sel mereka, tapi Polri tidak bisa menindak. Polri hanya bisa bertindak kalau sudah ada barang buktinya.
Bak gayung bersambut, usai membuka acara Rapat Koordinasi Nasional di gedung Jakarta International Expo, Kemayoran, Jakarta Pusat (14 Mei 2018), Presiden mengeluarkan pernyataan pers yang juga mendesak DPR dan kementerian terkait yang berhubungan dengan pembahasan draft atas revisi UUAT 2003 yang sudah diajukan sejak Pebruari 2016 untuk segera diselesaikan secepat-cepatnya dalam masa sidang berikutnya, yakni 18 Mei 2018.
Bahkan, Presiden meng-ultimatum akan mengeluarkan Perppu jika pada akhir masa sidang Juni 2018 ternyata draft revisi UUAT atas 2003 tersebut belum juga dirampungkan atau disahkan oleh DPR. Menurut Presiden, pengesahan draft revisi UUAT 2003 merupakan payung hukum penting bagi aparat (Polri) untuk bisa menindak tegas, baik dalam pencegahan atau tindakan. Tanpa itu, Polri tidak dapat bergerak leluasa dalam mencegah maupun menindak aksi terorisme.
Silahkan baca juga : Luar Biasa..!! Setelah Presiden "Ultimatum" Keluarkan Perppu, DPR akhirnya Sahkan Draft Revisi atas Undang-Undang Antiterorisme
Mencermati masing-masing pernyataan Kapolri maupun Presiden tersebut, tersirat bahwa terorisme merupakan ancaman yang sangat serius bagi keamanan dan keutuhan bangsa dan negara sehingga perlu ada perhatian dan penanganan yang lebih serius dan khusus. Utamanya mengenai regulasi atau payung hukum pemberantasan terorisme, terlebih bagi Polri. Karenanya, dibutuhkan regulasi atau payung hukum yang lebih memadai dalam memperkuat peran Polri dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya sebagai ujung tombak pemberantasan terorisme.
Muatan pasal dalam draft revisi atas UUAT 2003 yang telah masuk dalam Daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas Tahun 2016 tersebut, nampaknya diyakini oleh Kapolri dan Presiden lebih mengakomodir perluasan kewenangan Polri, dengan menitikberatkan pada model penegakan hukum yang proaktif (proactive law enforcement) sehingga memungkinkan Polri untuk dapat segera bertindak sebelum terjadinya aksi teror dan timbulnya banyak korban (preventif). Artinya, dengan disahkannya draft revisi atas UUAT 2003, Polri diyakini akan dapat lebih masif dalam melakukan deteksi dini atau pencegahan dan penindakan tindak pidana terorisme. Karenanya, percepatan revisi atas UUAT 2003, bagi Kapolri dan Presiden merupakan hal yang penting dan mendesak.
Dalam konteks ini, dan terlepas dari kemungkinan timbulnya berbagai implikasi hukum, urgensi percepatan revisi atas Undang-Undang Antiterorisme 2003 terhadap kewenangan Polri tersebut, cukuplah beralasan dan logis. Misalnya saja, dalam hal penangkapan (Pasal 28 UUAT 2003). Dimana dalam draft revisi atas UUAT 2003, frase “bukti permulaan yang cukup” dalam rumusan Pasal 28 UUAT 2003 telah dihapuskan. Dengan perubahan ini, maka Polri (penyidik) bisa langsung melakukan penangkapan terhadap setiap orang yang “diduga keras” melakukan tindak pidana terorisme, tanpa perlu adanya bukti permulaan yang cukup.
Jika draft revisi atas UUAT 2003 disahkan dengan tetap memuat rumusan dalam Pasal 28 UUAT 2003 yang telah diubah tersebut, maka Polri pun menjadi lebih leluasa dan semakin dimudahkan dalam melakukan penangkapan. Kewenangan Polri sudah tidak lagi dibatasi dengan kewajiban pemenuhan syarat formil penangkapan.
Terlebih lagi, jika dalam revisi atas UUAT 2003 yang disahkan tersebut terdapat pula ketentuan (pasal) yang dapat menetapkan organisasi tertentu sebagai organisasi teroris, seperti Jamaah Ansharut Daullah (JAD) dan Jamaah Ansharut Tauhid (JAT), sebagaimana dicontohkan oleh Kapolri dalam pernyataannya tersebut diatas, maka Polri dapat langsung melakukan penangkapan terhadap siapa pun yang bergabung atau berafiliasi dengan organisasi tersebut, meski belum melakukan aksi teror. Termasuk terhadap sel-sel teroris yang terdeteksi pun dapat langsung ditindak oleh Polri.
Akhirnya, Polri pun tidak lagi ragu dan gamang atau kesulitan dalam menindaklanjuti penyelidikan maupun hasil atau laporan intelijen sebagaimana yang dialami oleh Polri selama ini dibawah payung UUAT 2003. Tidak ada lagi alasan lambannya penindakan terhadap tindak pidana terorisme karena regulasi atau payung hukum yang lemah atau tidak memadai. Kedepannya, Polri pun diharapkan dapat menjadi lebih peka dan sigap dengan tetap profesional dalam koridor hukum dan perundang-undangan yang ada.
Sumber/pustaka :
Merespon adanya serentetan peristiwa teror tersebut, pemerintah pun kemudian mendesak DPR untuk secepatnya merampungkan pembahasan draft perubahan (revisi) atas Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, selanjutnya disebut UU Antiterorisme 2003.
Jenderal Polisi Tito Karnavian selaku Kepala Kepolsian Republik Indonesia (selanjutnya disebut Kapolri), dalam pernyataannya saat memberikan keterangan pers di RS Bhayangkara Surabaya, Jawa Timur (13 Mei 2018), mendesak DPR untuk secepatnya merampungkan pembahasan draft revisi atas UUAT 2003. Bahkan, bila perlu dia mohon kepada Presiden Jokowi (selanjutnya disebut Presiden) untuk mengajukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu), jika UUAT 2003 tersebut terlalu lama direvisi.
Menurut Kapolri, UUAT 2003 merupakan regulasi yang responsif atau membatasi gerak Kepolisian RI (Polri) untuk mengambil tindakan secara langsung. Dia memberikan contoh, pengadilan menetapkan Jamaah Ansharut Daullah (JAD) dan Jamaah Ansharut Tauhid (JAT) sebagai organisasi teroris, namun Polri tidak bisa berbuat apa-apa (menindak) jika mereka tidak melakukan apa-apa. Polri pun hanya memiliki kewenangan interview selama tujuh hari, setelah itu dilepas dan diawasi. Untuk itu, Kapolri meminta Presiden segera membuat Perppu untuk mempercepat penanganan sekaligus sebagai antisipasi tindakan teror.
Lebih lanjut, Kapolri menilai bahwa dengan payung hukum yang ada saat ini (UUAT 2003) Polri kesulitan untuk menindaklajuti penyelidikan terhadap mereka. Meski Polri sudah tahu sel mereka, tapi Polri tidak bisa menindak. Polri hanya bisa bertindak kalau sudah ada barang buktinya.
Bak gayung bersambut, usai membuka acara Rapat Koordinasi Nasional di gedung Jakarta International Expo, Kemayoran, Jakarta Pusat (14 Mei 2018), Presiden mengeluarkan pernyataan pers yang juga mendesak DPR dan kementerian terkait yang berhubungan dengan pembahasan draft atas revisi UUAT 2003 yang sudah diajukan sejak Pebruari 2016 untuk segera diselesaikan secepat-cepatnya dalam masa sidang berikutnya, yakni 18 Mei 2018.
Bahkan, Presiden meng-ultimatum akan mengeluarkan Perppu jika pada akhir masa sidang Juni 2018 ternyata draft revisi UUAT atas 2003 tersebut belum juga dirampungkan atau disahkan oleh DPR. Menurut Presiden, pengesahan draft revisi UUAT 2003 merupakan payung hukum penting bagi aparat (Polri) untuk bisa menindak tegas, baik dalam pencegahan atau tindakan. Tanpa itu, Polri tidak dapat bergerak leluasa dalam mencegah maupun menindak aksi terorisme.
Silahkan baca juga : Luar Biasa..!! Setelah Presiden "Ultimatum" Keluarkan Perppu, DPR akhirnya Sahkan Draft Revisi atas Undang-Undang Antiterorisme
Mencermati masing-masing pernyataan Kapolri maupun Presiden tersebut, tersirat bahwa terorisme merupakan ancaman yang sangat serius bagi keamanan dan keutuhan bangsa dan negara sehingga perlu ada perhatian dan penanganan yang lebih serius dan khusus. Utamanya mengenai regulasi atau payung hukum pemberantasan terorisme, terlebih bagi Polri. Karenanya, dibutuhkan regulasi atau payung hukum yang lebih memadai dalam memperkuat peran Polri dalam menjalankan tugas dan tanggung jawabnya sebagai ujung tombak pemberantasan terorisme.
Muatan pasal dalam draft revisi atas UUAT 2003 yang telah masuk dalam Daftar Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas Tahun 2016 tersebut, nampaknya diyakini oleh Kapolri dan Presiden lebih mengakomodir perluasan kewenangan Polri, dengan menitikberatkan pada model penegakan hukum yang proaktif (proactive law enforcement) sehingga memungkinkan Polri untuk dapat segera bertindak sebelum terjadinya aksi teror dan timbulnya banyak korban (preventif). Artinya, dengan disahkannya draft revisi atas UUAT 2003, Polri diyakini akan dapat lebih masif dalam melakukan deteksi dini atau pencegahan dan penindakan tindak pidana terorisme. Karenanya, percepatan revisi atas UUAT 2003, bagi Kapolri dan Presiden merupakan hal yang penting dan mendesak.
Dalam konteks ini, dan terlepas dari kemungkinan timbulnya berbagai implikasi hukum, urgensi percepatan revisi atas Undang-Undang Antiterorisme 2003 terhadap kewenangan Polri tersebut, cukuplah beralasan dan logis. Misalnya saja, dalam hal penangkapan (Pasal 28 UUAT 2003). Dimana dalam draft revisi atas UUAT 2003, frase “bukti permulaan yang cukup” dalam rumusan Pasal 28 UUAT 2003 telah dihapuskan. Dengan perubahan ini, maka Polri (penyidik) bisa langsung melakukan penangkapan terhadap setiap orang yang “diduga keras” melakukan tindak pidana terorisme, tanpa perlu adanya bukti permulaan yang cukup.
Jika draft revisi atas UUAT 2003 disahkan dengan tetap memuat rumusan dalam Pasal 28 UUAT 2003 yang telah diubah tersebut, maka Polri pun menjadi lebih leluasa dan semakin dimudahkan dalam melakukan penangkapan. Kewenangan Polri sudah tidak lagi dibatasi dengan kewajiban pemenuhan syarat formil penangkapan.
Terlebih lagi, jika dalam revisi atas UUAT 2003 yang disahkan tersebut terdapat pula ketentuan (pasal) yang dapat menetapkan organisasi tertentu sebagai organisasi teroris, seperti Jamaah Ansharut Daullah (JAD) dan Jamaah Ansharut Tauhid (JAT), sebagaimana dicontohkan oleh Kapolri dalam pernyataannya tersebut diatas, maka Polri dapat langsung melakukan penangkapan terhadap siapa pun yang bergabung atau berafiliasi dengan organisasi tersebut, meski belum melakukan aksi teror. Termasuk terhadap sel-sel teroris yang terdeteksi pun dapat langsung ditindak oleh Polri.
Akhirnya, Polri pun tidak lagi ragu dan gamang atau kesulitan dalam menindaklanjuti penyelidikan maupun hasil atau laporan intelijen sebagaimana yang dialami oleh Polri selama ini dibawah payung UUAT 2003. Tidak ada lagi alasan lambannya penindakan terhadap tindak pidana terorisme karena regulasi atau payung hukum yang lemah atau tidak memadai. Kedepannya, Polri pun diharapkan dapat menjadi lebih peka dan sigap dengan tetap profesional dalam koridor hukum dan perundang-undangan yang ada.
Sumber/pustaka :
- http://nasional.republika.co.id/berita/nasional/hukum/18/05/14/p8p9m9430-presiden-ancam-keluarkan-perppu
- https://tirto.id/kapolri-desak-dpr-segera-selesaikan-revisi-uu-antiterorisme-cKnb
- http://aksi.id/artikel/26747/Kapolri-Minta-RUU-Teroris-Segera-Disahkan-Atau-Presiden-Keluarkan-Perppu/
- https://news.detik.com/berita/d-4020701/revisi-uu-terorisme-dipertanyakan-kapolri-langsung-dieksekusi
- https://nasional.kompas.com/read/2018/05/14/10574411/jika-pada-juni-ruu-antiterorisme-belum-selesai-jokowi-terbitkan-perppu.
- http://kabar24.bisnis.com/read/20180514/15/794708/pemberantasan-terorisme-ini-sebabnya-presiden-ancam-terbitkan-perppu-antiterorisme
- http://m.mediaindonesia.com/read/detail/162276-menjadikan-uu-terorisme-sebagai-proactive-law-enforcement)
- http://wikidpr.org/uploads/ruu/56f1188cd15f185676000027/draf-ruu-terorisme-29-jan-2016.pdf.
- http://www.dpr.go.id/uu/prolegnas/year/2016
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkunjung dan membaca artikel kami...
Setiap komentar akan dimoderasi terlebih dahulu. Jadi, mohon sampaikan komentar sesuai dengan judul dan konten artikel, santun, tidak mengandung SARA, bukan iklan, dan tanpa SPAM.
Salam sukses selalu untuk anda..!!