Dalam
artian luas, zina -atau perbuatan zina-, telah dimaknai secara universal
dalam masyarakat kita yang komunal dan religius sebagai konsepsi mengenai persetubuhan
atau hubungan seks yang dilarang
dan asusila/tercela karena melanggar norma agama dan norma kesusilaan.
Persetubuhan atau hubungan seks hanya boleh dilakukan oleh laki-laki dan
perempuan dalam ikatan perkawinan (suami isteri) saja. Diluar itu, termasuk
persetubuhan atau hubungan seks yang dilakukan oleh laki-laki dan perempuan
yang masing-masing atau kedua-duanya tidak dalam ikatan perkawinan, adalah perbuatan
zina.
Menurut hukum adat, di dalam persetubuhan, terkandung nilai-nilai kesucian.
Oleh karena itu, untuk melakukannya diperlukan syarat. yaitu perkawinan.
Apabila dilakukan di luar perkawinan, dia berdosa dan telah melanggar nilai
kesucian itu. Dia telah berzina, oleh sebab itu si pembuatnya harus dihukum.
Dalam konteks tersebut diatas, dan terlepas dari berbagai alasan penolakan
yang ada tersebut diatas, menurut penulis, tetap dipertahankan atau
dicantumkannya Pasal 484 ayat (1) huruf e RKUHP dalam Pasal 484 ayat (1) RKUHP
oleh perumus undang-undang, justru adalah sikap yang konsisten, sebagai
konsekuensi logis dengan dipakainya kata “zina” diawal kalimat dalam rumusan
Pasal 484 ayat (1) RKUHP.
Dengan dipakainya kata “zina” diawal kalimat dalam rumusan Pasal
484 ayat (1) RKUHP tersebut, maka Pasal ayat 284 (1) KUHP tidak dapat lagi
digunakan sebagai acuan pembanding karena telah jelas dan tegas pemakaian kata
“zina” menunjukkan bahwa Pasal 484 ayat (1) RKUHP adalah ketentuan mengenai
delik zina. Pasal 284 ayat (1) KUHP hakekatnya adalah mengenai pelanggaran
(delik) terhadap kesetiaan perkawinan, bukan delik zina.
Untuk itu, sebagai delik zina, maka Pasal 484 ayat (1) RKUHP
haruslah dirumuskan secara utuh dan menyeluruh, sejalan dengan konsepsi zina
itu sendiri. Karenanya, sangatlah beralasan, logis dan sudah semestinya pula
jika Pasal 484 ayat (1) huruf e RKUHP oleh perumus undang-undang tetap dipertahankan
atau dicantumkan dalam Pasal 484 ayat (1) RKUHP sebagai bagian delik zina,
bukan sebagai perluasan delik zina.
Kalau pun rumusan Pasal 484 ayat (1) huruf e RKUHP tetap ingin
ditolak atau ditiadakan, maka pemakaian kata “zina” diawal kalimat dalam Pasal
484 ayat (1) RKUHP tersebut, haruslah ditolak atau ditiadakan terlebih dahulu.
Artinya, tidak perlu ada pemakaian kata “zina”, sehingga rumusan Pasal 484 ayat
(1) RKUHP tidak lagi diawali dengan kalimat “Dipidana karena zina,...” tapi
cukup diawali dengan kalimat “Dipidana atau diancam dengan pidana penjara..” sebagaimana rumusan dalam Pasal 284 ayat (1) KUHP.
Sumber/pustaka:
- R. Soenarto Soerodibroto, S.H., KUHP DAN KUHAP, Edisi Kelima, RajaGrafindo Persada, 2003.
- http://www.berdikarionline.com/inilah-bahaya-pasal-zina-dalam-ruu-kuhp/
- https://nasional.kompas.com/read/2018/02/01/10145771/dalam-pasal-zina-rkuhp-korban-pemerkosaan-berpotensi-dipenjara-lima-tahun
- https://nasional.kompas.com/read/2018/01/30/19035961/belasan-ribu-dukungan-untuk-petisi-tolak-perluasan-pasal-zina-di-rkuhp
- https://news.detik.com/dw/d-3857472/parlemen-asean-desak-indonesia-tolak-perluasan-pasal-zina-di-rkuhp
- https://nasional.kompas.com/read/2018/02/05/21064651/dpr-dan-pemerintah-sepakat-pasal-zina-tetap-diperluas-dalam-rkuhp
- https://andukot.files.wordpress.com/2010/05/tinjaun-yuridis-atas-delik-perzinahan.pdf
- http://www.referensimakalah.com/2012/12/pengertian-perzinahan.html
- http://kbbi.co.id/arti-kata/gendak
- http://kbbi.co.id/arti-kata/mukah
- https://id.wikipedia.org/wiki/Zina
- http://perzinaan-hukum.blogspot.co.id/2013/09/perzinaan-dalam-presfektif-hukum-pidana.html
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkunjung dan membaca artikel kami...
Setiap komentar akan dimoderasi terlebih dahulu. Jadi, mohon sampaikan komentar sesuai dengan judul dan konten artikel, santun, tidak mengandung SARA, bukan iklan, dan tanpa SPAM.
Salam sukses selalu untuk anda..!!