Diawal tahun 2018 sempat marak reaksi penolakan terhadap perluasan delik
zina dalam Pasal 484 ayat (1) Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
(RKUHP) 2015. Berbagai alasan dikemukakan dalam penolakan tersebut, bahwa
perluasan delik zina tersebut dapat berpotensi: mengganggu ruang privasi
masyarakat, memidanakan korban
pemerkosaan, meningkatkan kriminalisasi
terhadap privasi warga negara, mengkriminalkan hubungan seks antara orang yang belum menikah, dll.
Meski demikian, perumus undang-undang tetap bersikukuh dengan keputusannya semula. Dimana hasil rapat DPR dan Pemerintah per 10 Januari 2018 yang lalu sepakat untuk memperluas untuk tetap pasal tindak pidana (delik) zina dalam Pasal 484 ayat (1) RKUHP.
Meski demikian, perumus undang-undang tetap bersikukuh dengan keputusannya semula. Dimana hasil rapat DPR dan Pemerintah per 10 Januari 2018 yang lalu sepakat untuk memperluas untuk tetap pasal tindak pidana (delik) zina dalam Pasal 484 ayat (1) RKUHP.
Rumusan Pasal 484 ayat (1) huruf e RKUHP, yang menyebutkan, “Laki-laki dan perempuan yang masing-masing tidak dalam ikatan perkawinan melakukan persetubuhan” inilah yang tetap dipertahankan atau dicantumkan oleh perumus undang-undang dalam Pasal 484 ayat (1) RKUHP, yang kemudian menjadi polemik karena dipandang sebagai perluasan delik zina. Dimana dengan adanya Pasal 484 ayat (1) huruf e RKUHP dalam Pasal 484 ayat (1) RKUHP, maka subjek hukum atau pelaku delik zina bukan hanya “laki-laki dan perempuan yang salah satu atau kedua-duanya dalam ikatan perkawinan”, tapi termasuk juga “laki-laki dan perempuan yang masing-masing (kedua-duanya) tidak dalam ikatan perkawinan” yang melakukan persetubuhan atau hubungan seks.
Subjek hukum atau pelaku delik zina “laki-laki dan perempuan yang masing-masing (kedua-duanya) tidak dalam ikatan perkawinan” tersebut tidak diatur dalam Pasal 284 ayat (1) KUHP. Artinya, persetubuhan atau hubungan seks yang dilakukan oleh “laki-laki dan perempuan yang masing-masing (kedua-duanya) tidak dalam ikatan perkawinan” bukanlah termasuk delik zina dalam Pasal 284 ayat (1) KUHP. Nampaknya, hal ini pulalah yang menjadi acuan pembanding dalam memaknai tejadinya perluasan delik zina dalam Pasal 484 ayat (1) RKUHP.
Menurut penulis, akar polemiknya, adalah karena adanya pemakaian kata "zina" dalam Pasal 484 ayat (1) RKUHP, bukan pada rumusan Pasal 484 ayat (1) huruf e RKUHP. Dimana diawal kalimatnya menyebutkan, "Dipidana karena zina,...". Jadi, jelas dan tegas ada pemakaian kata "zina" dalam rumusan pasalnya sehingga jelas dan tegas pula menunjukkan bahwa pasal ini adalah ketentuan mengenai delik zina. Pemakaian kata "zina" dalam Pasal 484 ayat (1) RKUHP inilah yang seharusnya dikritisi, bukan Pasal 484 ayat (1) Huruf e RKUHP.
Berbeda halnya dengan Pasal 284 ayat (1) KUHP, yang diawal kalimatnya hanya menyebutkan, "Dipidana atau diancam dengan pidana penjara...". Tidak ada pemakaian kata "zina" didalamnya. Yang dipakai adalah kata "gendak" (overspel) dalam Pasal 284 ayat (1) angka 1 huruf a dan huruf b.
Kata “gendak” yang dipakai dalam Pasal 284 ayat (1) KUHP adalah untuk menunjuk atau mengartikan kata “overspel” (bahasa Belanda). Artinya, kata yang dipakai untuk mengartikan kata “overspel” bukanlah kata “zina” tapi padanan kata atau sinonimnya, yakni kata “gendak”, yang maknanya lebih sempit atau terbatas daripada kata “zina”. Dimana subjek hukum atau pelaku deliknya tidak termasuk laki-laki dan perempuan yang masing-masing (kedua-duanya) tidak dalam ikatan perkawinan.
Dari berbagai terjemahan Wetboek van Strafrecht yang beredar, para pakar hukum Indonesia berbeda pendapat mengenai penggunaan kata pengganti dari overspel. Hal ini dikarenakan bahasa asli yang digunakan dalam KUHP adalah bahasa Belanda. Ada yang memakai kata “zina”, namun ada pula yang memakai kata “gendak” atau “mukah”. Menurut Van Dale’s Groat Woordenboek Nederlanche Taag, kata overspel berarti echbreuk, schending ing der huwelijk strouw, yang kurang lebih berarti pelanggaran terhadap kesetiaan perkawinan. Mungkin istilah gaulnya, adalah perselingkuhan.
Pemakaian kata "zina" untuk mengartikan overspel dalam Pasal 284 ayat (1) KUHP dipandang oleh beberapa pihak tidak tepat. Menurut Prodjodikoro, kata "zina" dalam Pasal 284 ayat (1) KUHP itu berbeda dengan kata "zina" menurut hukum Islam. Sehingga dapat dimengerti apabila terjadi perbedaan dalam mengartikan kata "overspel" tersebut dalam berbagai terjemahan Wet van Strafrecht sebagai naskah asli KUHP Indonesia.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), arti
kata “gendak” adalah perempuan yang disukai (diajak berzina) atau perempuan
simpanan. Sedangkan kata “mukah” adalah perbuatan sanggama secara tidak sah
antara laki-laki atau perempuan yang telah menikah dengan seseorang yang
berlainan jenis yang belum menikah.
Zina adalah perbuatan persetubuhan antara
laki-laki dan perempuan yang tidak terikat pernikahan atau perkawinan. Secara
umum, zina bukan hanya di saat manusia melakukan hubungan seksual, tetapi
segala aktifivitas-aktivitas seksual yang dapat merusak kehormatan manusia
termasuk dikategorikan zina (Wikipedia).
Menurut Purwadarminta, zina merupakan perbuatan
bersetubuh yang tidak sah, seperti bersundal, bermukah dan bergendak. Istilah atau
kata “zina” merupakan istilah serapan yang diambil dari bahasa Arab. Penyerapan
istilah dari bahasa asing ini dimaksudkan bahwa kata “zina” terlalu banyak
sinonimnya di dalam istilah bahasa Indonesia, bermukah dan bergendak.
Baca lanjutannya, klik DISINI.
Pokrol Online



Posted in:
0 komentar:
Posting Komentar
Terima kasih telah berkunjung dan membaca artikel kami...
Setiap komentar akan dimoderasi terlebih dahulu. Jadi, mohon sampaikan komentar sesuai dengan judul dan konten artikel, santun, tidak mengandung SARA, bukan iklan, dan tanpa SPAM.
Salam sukses selalu untuk anda..!!