Sahnya Perceraian


Meski bukanlah suatu peristiwa yang diharapkan terjadi, namun ternyata perceraian telah menjadi realitas sehari-hari dalam kehidupan masyarakat kita. Begitu banyak perkawinan bubar disebabkan oleh perceraian.

Perceraian tidak diatur tersendiri dalam sebuah undang-undang, tapi berada dibawah payung hukum Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) dan Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (PP Perkawinan). Dalam UU Perkawinan, perceraian diatur dalam Bab VII (Pasal 38 s/d 41). Sedangkan dalam PP Perkawinan, diatur dalam Bab V (Pasal 14 s/d 36).

UU Perkawinan tidak memberikan definisi secara khusus mengenai pengertian perceraian. Ketentuan Pasal 38 huruf b UU Perkawinan hanya menyebutkan: “Perkawinan dapat putus karena: a. kematian b. perceraian dan c. atas keputusan Pengadilan”. Rumusan pasal tersebut telah meletakkan perceraian sebagai salah satu penyebab bagi putusnya perkawinan, selain karena kematian dan atas keputusan pengadilan.

Dalam artian luas, perceraian dapat dipahami sebagai putusnya ikatan perkawinan. Dengan kata lain, perceraian terkait secara kausalitas dengan perkawinan. Perceraian terjadi karena sebelumnya ada perkawinan (tidak ada perceraian tanpa ada perkawinan). Perceraian memang ditujukan untuk memutus ikatan perkawinan ketika suami istri masih hidup.

Mengenai sahnya perceraian, UU Perkawinan pun tidak memberikan definisi khusus. Tidak ada satu pasal pun yang dengan tegas menyebutkan mengenai sahnya perceraian. Hal mana berbeda dengan perkawinan, untuk sahnya perkawinan telah ditegaskan dalam Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan, yang menyebutkan: "Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu".

Pasal 39 ayat (1) UU Perkawinan menyebutkan bahwa “Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak”. Dalam rumusan pasal tersebut nampaklah bahwa badan peradilan adalah satu-satunya badan/lembaga negara yang memiliki otoritas atau kewenangan untuk menjatuhkan putusan cerai, tanpa ada opsi/pilihan melalui badan/lembaga negara lainnya. Itu berarti, sidang pengadilan (Pengadilan Negeri atau Pengadilan Agama) telah menjadi satu-satunya jalur hukum yang harus ditempuh terlebih dahulu oleh suami atau isteri yang hendak melakukan perceraian.

Mengacu pada rumusan pasal Pasal 39 ayat (1) UU Perkawinan tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa perceraian yang sah adalah perceraian yang dilakukan melalui persidangan di pengadilan atau berdasarkan putusan pengadilan (badan peradilan), setelah benar-benar tidak tercapai perdamaian lagi di antara para pihak (suami istri). Putusan pengadilan tersebut pun harus telah berkekuatan hukum tetap (inkracht) agar putusan perceraian dapat benar-benar dilaksanakan. 


Perlu diingat pula mengenai legalitas perkawinan tersebut sebelum mengajukan gugatan ke pengadilan. Gugatan perceraian hanya dapat diajukan untuk diperiksa dan diputus melalui persidangan di pengadilan apabila perkawinan tersebut telah dilakukan secara sah (Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan) dan telah dicatatkan (Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan jo Pasal 2 ayat (2) PP Perkawinan).

Semoga bermanfaat.

Sumber :
  • Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
  • Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1975 tentang Perkawinan.
Gambar: https://pixabay.com.

Silahkan baca juga..



0 komentar:

Posting Komentar

Terima kasih telah berkunjung dan membaca artikel kami...
Setiap komentar akan dimoderasi terlebih dahulu. Jadi, mohon sampaikan komentar sesuai dengan judul dan konten artikel, santun, tidak mengandung SARA, bukan iklan, dan tanpa SPAM.
Salam sukses selalu untuk anda..!!

 
Design by Free WordPress Themes | Bloggerized by Lasantha - Premium Blogger Themes | GreenGeeks Review